Hakekat
Pernikahan Sebagai Sarana Menemui Allah ~
Bagaimanakah proses awal mula penciptaan seorang
manusia ?.
Dan apa hubungannya dengan proses bertemunya
seorang manusia dengan Allah. Untuk membahasnya, marilah kita lihat sejarah
hidup Nabi Muhammad Saw dalam mencari keberadaan Sang Khaliknya.
Sejak lahir sampai berumur 25 tahun, beliau
telah diajarkan dan didoktrin oleh para pemuka agama kaum Quraisy bahwa Tuhan
yang harus disembah adalah Tuhan-Tuhan yang berwujud patung-patung yang
mempunyai nama antara lain Lata Uza, Manata dan lainnya.
Dalam diri Muhammad pada waktu itu tidak
mempercayai ajaran tersebut, sehingga beliau meminta ijin kepada istrinya Siti
Khodijah untuk bertahanuts atau beruzlah mengasingkan diri ke dalam gua Hira
dilereng Gunung Cahaya (Jabal Nur) dengan tujuan untuk mencari Tuhan yang
sebenarnya.
Selama berbulan-bulan beliau bertahanuts di Gua
Hira, tetapi belum juga menemukan cara untuk bertemu sekaligus mengenal Sang
Khalik.
Tetapi berkat usaha beliau yang tidak kenal
menyerah, akhirnya di usia ke 40 tahun, beliau mendapatkan wahyu yang pertama
kali dari Allah yang isinya adalah perintah untuk membaca, merenungkan dan
mempelajari proses awal mula penciptaan diri seorang manusia.
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah
menciptakan. Dia menciptakan manusia dari Alaqah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang
Pemurah. Yang mengajari manusia dengan Qalam. Dia mengajari manusia apa yang
belum diketahuinya”. (QS Al Alaq 96 : 1-5).
Berdasarkan dalil tersebut, marilah kita
renungkan,
Muhammad pada waktu itu bertahanuts di Gua Hira
dengan tujuan untuk mencari, menemui dan mengenal keberadaan Sang Khalik yang
sebenarnya, walaupun beliau tidak mengetahui cara atau metode untuk bertemu
dengan Sang Khalik.
Untuk maksud tersebut, akhirnya Allah
memerintahkan agar beliau mempelajari proses awal mula penciptaan seorang
manusia dari Al Alaqah.
Tentunya Muhammad pada waktu itu bertanya dalam
qalbunya, apakah hubungan antara proses awal mula penciptaan manusia dari Al
Alaqah dengan proses bertemunya seorang manusia dengan Allah ?
Dengan kecerdasan yang dimiliki oleh beliau dan
pengajaran yang diajarkan oleh Allah, akhirnya beliau menemukan jawabannya,
sehingga akhirnya beliau dapat bertemu dan melihat Allah untuk pertama kalinya
di Gua Hira.
Kemudian selanjutnya beliau selalu mendapatkan
pengajaran dari Allah berupa wahyu-wahyu sampai beliau berusia 63 tahun.
Demikianlah sekilas sejarah hidup Nabi Muhammad
Saw dalam mencari Tuhannya.
Dari sejarah Nabi Muhammad Saw tersebut, kita
dapat mengambil kesimpulan bahwa untuk bertemu dengan Allah kita harus
mempelajari proses awal mula penciptaan diri yang bermula dari Al Alaqah.
Kata Alaqah mempunyai dua arti yaitu pertama,
cinta kasih yang melekat. Arti yang kedua adalah segumpal darah.
Dari dua pengertian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa proses penciptaan manusia bermula dari rasa cinta Allah kepada
makhluk-Nya.
Hal ini sesuai dengan Hadits Qudsi :
“Aku dahulu adalah permata yang tersembunyi. Aku
rindu untuk dikenal, maka Aku ciptakan makhluk agar ia mengenal-Ku”. (HR.
Bukhari).
Rasa cinta Allah kepada makhluk-Nya itu kemudian
diberikan kepada ayah ibu kita sehingga timbullah rasa cinta diantara keduanya,
yang kemudian dilekatkan dalam sebuah ikatan perkawinan.
Kemudian mereka melakukan persenggamaan sehingga
terjadilah penyatuan dua rasa cinta yang dilebur menjadi satu.
Dalam persenggamaan tersebut terjadilah
pelepasan spermatozoa dari ayah, yang selanjutnya mereka bergerak menuju
pasangannya yaitu ovum atau sel telur yang berada di dalam rahim.
Setelah mereka bertemu maka sperma akan bergerak
mengelilingi sel telur sebanyak tujuh kali mirip gerakan Thawafnya para jamaah
haji. Setelah itu barulah sperma berusaha untuk menembus lapisan pelindung sel
telur dan jika berhasil maka terjadilah penyatuan antara sel telur dengan
sperma (nutfah) yang akan mengakibatkan pembuahan yang selanjutnya membentuk
segumpal darah atau Al Alaqah yang merupakan cikal bakal janin bayi manusia.
Selanjutnya Alaqah tersebut berproses menjadi
mudghah, izhamah dan lahmah kemudian baru menjadi bayi yang sempurna secara
jasmaniyah, kemudian Allah meniupkan Ruh-Nya kedalam janin bayi tersebut.
Ketika berada di dalam rahim, sang bayi
mengalami keadaan dimana semua aktifitas inderawinya tidak berfungsi secara
sempurna. Atau dengan kata lain, lubang-lubang inderawinya masih tertutup
karena sang bayi berada dalam air ketuban (omnium water) selama kurang lebih 9
bulan, sampai akhirnya sang bayi lahir ke alam dunia ini.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa proses awal mula penciptaan seorang manusia melalui dua tahapan yaitu
tahap pertama berasal dari cinta kasih seorang pria dan wanita yang saling
dilekatkan dengan ikatan perkawinan dan persenggamaan.
Tahap kedua, yang merupakan lanjutan dari tahap
pertama yaitu segumpal darah yang melekat di dinding rahim yang terus berproses
menjadi janin bayi yang terendam didalam air ketuban selama 9 bulan.
Dalam surat Al An’am 6 : 94 telah diisyaratkan
bahwa proses bertemunya seorang manusia dengan Allah adalah seperti proses awal
mula penciptaan diri manusia itu sendiri, yaitu persenggamaan kedua orang
tuanya dan segumpal darah yang kemudian menjadi bayi yang berada dalam
kandungan ibunya.
Mungkin timbul dua pertanyaan dalam diri kita,
– Pertama, apa hubungannya antara persenggamaan
dengan proses bertemunya seorang manusia dengan Allah?
– Pertanyaan kedua, apa hubungannya antara
proses penciptaan janin bayi dalam kandungan dengan proses bertemunya seorang
manusia dengan Allah?
** Inilah masalah yang selama ini
dirahasiakan oleh Nabi Muhammad Saw **
“Janganlah engkau berikan ilmu ini kepada yang
tidak membutuhkan, karena itu adalah perbuatan zhalim. Tetapi jangan engkau
tidak berikan ilmu ini kepada yang membutuhkan, karena itu juga perbuatan
zhalim”. (Al Hadits) .
Seorang sahabat yang bernama Abu Hurairah juga
pernah berkata :
.
“Aku hafal dua karung (kitab) hadits dari
Rasulullah Saw. Yang satu karung (kitab) sudah aku siarkan kepada kalian semua.
Sedang yang satu lagi kalau aku siarkan, niscaya dipotong orang leherku”. ( HR
Bukhari).
.
Berdasarkan dalil tersebut, dapat disimpulkan
bahwa ada kitab hadits yang disembunyikan oleh Abu Hurairah, yang kemudian
diajarkan hanya kepada orang yang terpilih yang terus diwariskan sampai ke
generasi sekarang. Sebagian besar isi dari kitab hadits tersebut berkaitan
dengan masalah metode untuk melihat Allah dan bertemu dengan-Nya, melalui
proses pengulangan awal mula kejadian penciptaan manusia.
Dengan niat yang baik, penulis mencoba
menyingkap masalah tersebut dengan dasar Al Qur’an dan Hadits :
“Dan janganlah engkau sembunyikan kebenaran itu,
padahal engkau mengetahuinya”. (QS Al Baqarah 2 : 42).
“Sampaikanlah kebenaran itu walaupun pahit”. (HR
Bukhari).
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan
atau merahasiakan keterangan-keterangan dan petunjuk-petunjuk yang telah Kami
turunkan setelah Kami menjelaskannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu
dilaknat Alllah dan dilaknat pula oleh mereka yang melaknat kecuali orang-orang
yang telah bertaubat, berbuat kebaikan dan menerangkan apa-apa yang mereka
sembunyikan, maka mereka itulah yang Aku terima taubatnya dan Akulah Yang Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS Al Baqarah 2 : 159-160).
“Sampaikanlah dariku, walaupun satu ayat”. (Al
Hadits)
Di dalam Al Qur’an, Allah telah mengisyaratkan
hubungan antara persenggamaan dengan proses bertemunya seorang manusia dengan
Allah, yaitu :
“Perempuan-perempuan kamu (istri-istri kamu)
adalah seperti tempat bercocok tanam bagimu, maka datangilah tempat bercocok tanam
milik kamu itu sebagaimana kamu kehendaki. Dan buatlah kebaikan untuk dirimu
dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu akan
menemui-Nya dan sampaikanlah berita ini gembira untuk orang-orang yang
beriman”. (QS Al Baqarah 2 : 223).
Sebagian besar mufasirin menafsirkan ayat
tersebut termasuk ayat yang bermakna mukhamat artinya jelas dan terang sesuai
dengan teksnya.
Tetapi apabila kita teliti lebih lanjut,
terdapat satu keanehan yang tersirat dalam ayat tersebut, yaitu pada awalnya
ayat itu berbicara tentang masalah persenggamaan (berjima’) antara seorang
suami dengan istri istrinya, tetapi tiba-tiba diakhir ayat tersebut terdapat
kalimat :
“dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu akan
menemui-Nya dan sampaikanlah berita gembira ini kepada orang-orang beriman”
Tentunya kita bertanya, Apa hubungannya antara
persenggamaan dengan kabar gembira bahwa kita akan menemui Allah?
Mengapa Allah menggabungkan antara permasalahan
tatacara bersenggama (berjima’) dengan masalah proses menemui-Nya dalam satu
ayat ?
Adakah makna yang tersirat dari ayat tersebut ?
Inilah permasalahan yang akan kita coba bahas
dengan hati-hati, karena hal ini merupakan masalah yang sangat sensitif yang
bisa menimbulkan kesalafahaman dan fitnah, seperti yang terjadi pada penulisan
kitab “Darmogandul” dan Kitab “Gatoloco” yang menjadi polemik pada waktu itu
sampai sekarang ini.
Proses bertemunya seorang manusia dengan Allah
adalah melalui suatu proses yang mirip dengan proses awal mula penciptaan
manusia (surat Al An’am 6 ayat 94).
Kata “mirip” inilah yang harus diperhatikan dan
dipahami dengan benar. Kata “mirip” ini merupakan terjemahan dari kata “kamaa”.
Kita sering tidak menyadari arti kata “kamaa”
ini.
Dalam bahasa Arab, kata “kamaa” mempunyai banyak
arti yaitu seperti, sebagaimana, bagaikan atau mirip.
Dari arti ini dapat disimpulkan, bahwa proses
bertemunya seorang manusia dengan Allah adalah seperti proses penciptaan awal
mula kejadian manusia yaitu yang diawali dengan persenggamaan antara ayah ibu
kita adalah bukan dalam arti yang sebenarnya, tetapi proses tersebut hanya
bersifat mirip dengan proses awal mula penciptaan manusia (persenggamaan).
Bagaimanakah kemiripannya ?
Untuk memahami permasalahan tersebut, kita harus
menyadari bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan berpasangan (QS
51 : 49)
Demikian juga diri kita, juga diciptakan dengan
berpasangan,
“Maha Suci Allah yang telah menciptakan segala
sesuatu berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (QS Yasin 36 : 36)
Pada bagian akhir ayat tersebut dijelaskan bahwa
kita tidak mengetahui secara keseluruhan apa saja yang diciptakan Allah secara
berpasangan. Tegasnya, masih banyak yang diciptakan secara berpasangan yang
belum diketahui oleh kita, salah satunya adalah tentang diri kita sendiri yang
ternyata juga berpasangan.
Diri kita yang bersifat jasmani mempunyai
pasangannya yaitu diri yang bersifat ruhani. Diri jasmani kita juga mempunyai
pasangan secara jenis kelamin, yaitu pria dan wanita.
Dalam pandangan ahli hakikat, pada diri setiap
manusia, terdapat syimbol kelakian dan kewanitaan, baik secara genital maupun
secara sifat. Secara genital kelakian diberi tanda khusus dengan organ yang
berbentuk “huruf alif” atau “lingga” atau “alu”. Sedangkan genital kewanitaan
diberi tanda khusus dengan organ vital yang berbentuk “huruf ba” atau “Yoni”
atau “lumpang”.
Dalam bahasa Arab, organ vital kelakian di sebut
Ad-Dzakar, sedangkan organ vital kewanitaan disebut Al-Untsa.
Sifat kelakian disebut dengan istilah Ar-Rizal,
sedangkan sifat kewanitaan disebut dengan istilah An-Nisa.
Setiap diri manusia juga mempunyai dua syimbol
kelakian dan kewanitaan sekaligus (aprodite), yaitu tujuh lubang inderawi yang
ada di kepala dan tiga lubang yang ada di badan sebagai syimbol kewanitaan, dan
sepuluh jari tangan sebagai syimbol kelakian. Inilah makna syimbolis dari
hakikat istri, yang di isyaratkan dalam Al Qur’an :
”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia
menciptakan untuk kamu istri dari anfusmu sendiri……..”. (QS Ar Rum 30 : 21)
“Dia menciptakan kamu dari diri yang satu,
kemudia Dia menjadikan daripadanya istrinya……”. (QS Az Zumar 39 : 6)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kamu kepada
Tuhanmua yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Allah
menciptakan istrinya….”. (QS An Nisa 4 : 1)
Tujuh lubang inderawi yang ada dikepala manusia
merupakan tempat berkumpulnya empat rasa inderawi yaitu pendengaran,
penglihatan, penciuman dan pengucapan, oleh ahli hakikat dianggap sebagai
syimbol “empat istri” yang harus dinikahi secara keseluruhan atau poligami,
agar ke empat hawa nafsu yang ada pada lubang-lubang telinga, mata, hidung dan
mulut dapat dipimpin dan dikendalikan oleh sang suami.
“Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil
terhadap perempuan yatim, hendaklah kamu menikahi siapa saja di antara
perempuan-perempuan yang kamu sukai dua, tiga, atau empat tetapi jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil,maka nikahilah seorang saja atau kamu mengambil
budak-budakperempuan yang kamu miliki………”. (QS An Nisa 4 : 3)
Seorang lelaki yang dapat mempunyai empat istri
dan dapat mengendalikan dan memimpin ke empat istrinya adalah type seorang
muslim yang terbaik, hal ini sesuai dengan hadits nabi Muhammad Saw :
Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata : Ibnu Abbas
berkata kepadaku :
“Apakah engkau telah menikah?”
Aku menjawab : “Belum”.
Ia berkata : “Menikahlah,
Karena sesungguhnya sebaik-baiknya orang Islam
adalah yang lebih banyak istrinya. (HR Bukhari dan Ahmad).
Secara syimbolis dalil tersebut menjelaskan
tentang hakikat dari keberadaan hawa nafsu yang berada disetiap lubang telinga,
mata, hidung dan mulut.
Ke-empat inderawi (telinga-mata-hidung-mulut)
merupakan syimbol dari perempuan yatim,
Artinya perempuan yang hidup sendirian
(yatim=sendiri, satu-satunya atau tidak berbapak).
Aktifitas mendengar, melihat, mencium dan
mengucap, mengalami pertumbuhan dan perkembangan dengan sendirinya (yatim),
karena mereka sudah diprogram oleh Allah untuk menjalankan fungsinya sesuai
dengan perintah-Nya.
Telinga hanya berfungsi untuk mendengar,
Mata hanya berfungsi untuk melihat,
Hidung hanya berfungsi untuk mencium,
Mulut hanya berfungsi untuk mengucap dan
mengecap saja.
Singkatnya fungsi inderawi mereka tidak akan
tertukar diantara mereka.
Hal ini yang diisyaratkan dalam firman-Nya :
“Dan sungguh Kami telah mencptakan di atas
(kepala) kamu tujuh (lubang) jalan (aktifitas inderawi).Dan tidaklah Kami lalai
memelihara (fungsi inderawi) yang Kami ciptakan itu”. (QS Al Mu’minun 23 : 17)
Setiap inderawi mempunyai kebutuhan yang sangat
fithrah yang harus dipenuhi. Apabila kebutuhan itu terpenuhi dengan baik maka
ia akan bahagia atau sebaliknya ia akan tidak bahagia apabila kebutuhannya
tidak terpenuhi.
Kebutuhan mata adalah melihat.
Kebutuhan telinga adalah mendengar.
Kebutuhan hidung adalah mencium
Kebutuhan mulut adalah mengucap dan mengecap.
Semua kebutuhan itu harus dipenuhi dengan adil,
tetapi kadang kita tidak bisa berbuat adil, misalnya kita hanya mendahulukan
kepentingan salah satu inderawi saja dibandingkan kebutuhan inderawi lainnya
atau kita hanya mempercayai salah satu inderawi saja dibandingkan mempercayai
inderawi lainnya.
Inilah yang diisyaratkan secara syimbolis dalam
firman-Nya :
“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara
istri-istrimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka janganlah kamu
terlalu cenderung kepada istri yang kamu cintai sehingga engkau biarkan isrtri
yang lain seperti tergantung (terlupakan)……….”. (QS An Nisa 4 : 129)
Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, kadang
para istri atau wanita menjadi sumber fitnah dan dosa, karena mereka banyak
menuntut kebutuhannya secara berlebihan, sehingga Nabi Muhammad Saw pernah
bersabda :
“Aku tidak meninggalkan umatku fitnah yang kebih
berbahaya buat lelaki lebih dari fitnah yang dibawa kaum wanita”. (Al
Hadits) .
“Bumi ini subur dan indah. Dan Tuhan telah
menyerahkan amanah kepada kalian di muka bumi ini. Jika muncul godaan di dunia,
berhati-hatilah kalian. Dan berhati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah
pertama yang menimpa bangsa Isarail adalah fitnah wanita”. (HR Muslim).
.
Secara syimbolis, hadits tersebut menjelaskan
bahwa keinginan dari hawa nafsu yang ada di lubang inderawi kita, bisa juga
menjadi perangkap syeitan (syeitan adalah sifat menjauh atau merenggang dari
kebenaran) yang seringkali menimbulkan permasalahan karena kita akan terus
mengikuti kemauannya dan selalu memenuhi kebutuhannya, sehingga kita akan
menjauh dari nilai-nilai kebenaran.
Misalnya, kita selalu menuruti apa saja yang
yang diinginkan oleh mulut, sehingga kita makan secara berlebihan tanpa
mempedulikan apakah makanan itu halal atau haram, thayib atau tidak.
Untuk mengatasi masalah tersebut Allah telah
memberikan jalan keluarnya yaitu agar setiap lelaki atau suami selalu
mengendalikan dan memimpin wanita atau istri-istrinya atau hawa nafsunya yang
terdapat pada telinga, mata hidung dan mulut.
“Lelaki adalah pemimpin atas para wanita karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita)…..”. (QS An Nisa 4 : 34)
Siapakah sang suami atau lelaki secara hakekat ?
Secara hakikat syimbol “suami atau lelaki”
adalah jari-jari tangan kita. Hanya jari-jari tangan kitalah yang dapat
mengendalikan hawa nafsu atau keinginan yang berlebihan yang timbul dari ke
empat istri kita yaitu telinga, mata, hidung dan mulut, dengan cara
mengihramkan (melarang) mereka untuk beraktifitas seperti yang diisyaratkan
dalam gerakan takbiratul ihram dalam setiap awal ibadah shalat.
Ketika keinginan untuk mendengar, melihat,
mencium dan mungucap atau mengecap sudah sangat berlebihan, maka satu-satunya
cara untuk menghentikannya adalah dengan menutup lubang-lubang inderawi
tersebut dengan jari-jari tangan kita, dengan gerakan takbiratul ihram (takbir
larangan).
Dengan tertutupnya lubang-lubang inderawi kita
maka secara berangsur-angsur keinginan hawa nafsu dari para istri mulai
menghilang.
Gerakan takbiratul ihram secara syimbolis juga
mengisyaratkan hubungan antara “pernikahan atau perkawinan” syimbol kelakian
yaitu jari-jari tangan, dengan syimbol kewanitaan yaitu lubang-lubang inderawi,
dengan proses pertemuan dengan Allah, seperti yang diisyaratkan dalam firman-Nya
:
“Istri-istrimu adalah seperti ladang (tempat
bercocok tanam) bagimu, maka datangilah ladangmu (tempat bercocok tanammu)
sebagaimana kamu sukai dan buatlah kebaikan untuk dirimu dan ketahuilah bahwa
sesungguhnya kamu akan menemui-Nya dan sampaikanlah kabar gembira ini untuk
orang-orang yang beriman”. (QS Al Baqarah 2 : 223)
Ayat tersebut apabila ditafsirkan secara
syimbolis, akan mempunyai arti sebagai berikut :
Pertama :
Kata “istri-istri” dalam ayat tersebut mempunyai
makna syimbolis tujuh lubang inderawi yang berada di kepala manusia. Sedangkan
kata ganti kamu, pada ayat tersebut mempunyai makna syimbolis sepuluh jari
tangan manusia.
.
Kedua :
Pada ayat tersebut terdapat kalimat
“Perempuan-perempuan (istri-istri) kamu adalah
ladang bagi kamu. Maka datangilah ladangmu sebagaimana kamu kehendaki”.
Kalimat tersebut mempunyai arti syimbolis bahwa
ketujuh lubang inderawi kita adalah ladang bagi sepuluh jari tangan. (Ladang
adalah tempat untuk bercocok tanam, apabila tempat itu cocok untuk ditanam dengan
satu jenis tanaman tertentu maka ditanamlah tanaman tersebut).
Hal ini berarti tujuh lubang inderawi yang ada
di kepala adalah tempat yang cocok bagi jari-jari tangan untuk ditanamkan di
lubang-lubang tersebut sesuai dengan keinginan kita. Bagaimana mencocokkannya,
silahkan tanya kepada ahlinya.
Ketiga :
Pada ayat tersebut juga terdapat kalimat
“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu akan
menemui-Nya”.
Kalimat ini mempunyai arti simbolis, bahwa
ketika jari-jari tangan sudah ditanamkan ke dalam lubang-lubang inderawi maka
dalam posisi demikian sesungguhnya kita sedang melakukan prosesi untuk bertemu
dengan Allah.
Jadi prosesi menemui Allah dapat terjadi ketika
simbol kelakian (jari-jari tangan) dipertemukan dengan symbol kewanitaan yaitu
lubang-lubang inderawi. Inilah yang dimaksud dengan hakikat pernikahan “Bil
yad” (pernikahan dengan mempergunakan tangan) atau “sirri” atau “rahasia”,
yaitu pernikahan yang bersifat rahasia antara jari-jari tangan dengan lubang
inderawi yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
Keempat :
Pada akhir ayat tersebut terdapat kalimat
“Dan sampaikanlah berita gembira ini kepada
orang-orang yang beriman”.
Kalimat ini mempunyai arti simbolis bahwa
prosesi menemui Allah yang diisyaratkan dalam surat tersebut harus disebarluaskan
kepada orang-orang yang beriman sebagai kabar gembira, agar mereka dapat
mengetahui dan melaksanakan tatacara menemui Allah tersebut selagi mereka masih
hidup di atas dunia.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah 2 :
208)
Dari ayat al baqarah diatas jelas sekali bahwa
yang di panggil pertama kali adalah orang-orang yang beriman, kemudian Islam dan
larangan mengikuti langkah-langkah setan.
Bukannya Islam dulu, kemudian orang beriman. Apa
maksudnya ???
Hal ini apabila kita fahami maksudnya adalah
semua orang beriman itu adalah orang Islam.
Jadi Islam bukanlah justifikasi milik satu
kelompok atau golongan saja. Akan tetapi Islam adalah kelompok yang universal
bagi tempatnya orang-orang beriman.
Sehingga pemaknaan terkait rukun Islam diatas
haruslah pemaknaan yang universal, pemaknaan yang lugas, tanpa “tedeng
aling-aling” (tanpa ditutup-tutupi) dengan tanpa memihak satu golongan.
Melihat Tuhan dengan Hati
Rasulullah SAW pernah mengingatkan
para sahabat akan pentingnya mengedepankan fungsi hati sebagai raja bagi
kehidupan.
Apabila kita menjadikan akal kita sebagai raja
dan hati menjadi pengawalnya, maka tunggulah kehancuran hidup kita. Hati kita
akan tertutup dengan bercak hitam sehingga kita tidak mampu mengenal Allah.
Akal menjadi raja untuk diri kita karena kita
membiasakan diri menilai kebahagiaan hidup hanya melalui apa yang dirasakan di
dunia ini saja. Yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dirasakan oleh
lidah dan kulit, semuanya diinterpretasikan di otak (akal). Sehingga kitapun
lebih mempercayai rasio, logika dan nalar kita untuk mengukur kebahagiaan
hidup.
Pola ini akan membawa kita pada
pola hidup yang mengandalkan akal dan mengesampingkan hati nurani.
Banyak orang yang pintar dan cerdas dalam
menguasai suatu ilmu namun kering akan ruhani ketuhanan. Mereka tidak mampu
melihat sesuatu yang metafisik, sesuatu dibalik segala ciptaan yang tak
terbatas. Mereka akhirnya juga tidak mampu mereguk nikmatnya ibadah dan tidak
mampu merasakan kehadiran Allah SWT.
Berbeda halnya apabila
hati kita yang menjadi raja bagi diri kita. Kita akan bisa merasakan kehadiran
Allah SWT dalam hidup kita. Dalam kehidupan sosial, kita juga bisa merasakan
apa yang orang lain rasakan (peka). Oleh karena itu jadikanlah hati sebagai
raja bagi diri kita.
Orang yang tidak melatih hatinya saat hidup di
dunia ( sehingga hatinya tertutup ) maka mereka akan dibangkitkan oleh Allah
SWT di akhirat nanti dalam keadaan buta.
Tuhan berfirman dalam surat Thahaa :
“ Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku,
maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thahaa 20 :
124)
Dalam Hadits Nabi disebutkan
:
“Hati manusia itu ibarat sehelai kain putih yang
apabila manusia itu berbuat dosa maka tercorenglah / ternodailah kain putih
tersebut dengan satu titik noda kemudian jika sering berbuat dosa lambat-laun
sehelai kain putih itu berubah menjadi kotor / hitam”.
Jika hati nurani sudah kotor maka terkunci
nuraninya akan sulit menerima petunjuk dari Allah.
Ada Empat Tahapan Untuk Menajamkan atau
Membersihkan Mata Batin :
Pertama,
Mengosongkan hati dari sifat-sifat buruk seperti
iri, dengki, benci, dan dari sifat keduniawian.
Kedua,
Membuang daya khayal yang mengganggu keyakinan
hati kemudian berpikir tentang hal-hal yang ghaib yang kita ketahui.
Ketiga,
Mendawamkan ( kontinue ) sholat dan berzikir
pada malam hari karena kesepian malam dapat menambah kekhusuk-an hati.
Keempat,
Meningkatkan Iman dan Kecintaan kepada Allah
yaitu : mencintai Allah dari segala-galanya selalu Munajad ( mohon pertolongan
Allah ), dan Istikharoh ( meminta petunjuk dari Allah SWT )
Orang Mukmin yang taat kepada
Allah s.w.t, kuat melakukan ibadat, akan meningkatlah kekuatan rohaninya. Dia
akan kuat melakukan tajrid yaitu menyerahkan urusan kehidupannya kepada Allah
s.w.t. Dia tidak lagi khawatir terhadap sesuatu yang menimpanya, walaupun bala
yang besar. Dia tidak lagi meletakkan pergantungan kepada sesama makhluk.
Hatinya telah teguh dengan
perasaan reda terhadap apa jua yang ditentukan Allah s.w.t untuknya.
Bala tidak lagi menggugat imannya dan nikmat
tidak lagi menggelincirkannya. Baginya bala dan nikmat adalah sama, yaitu
takdir yang Allah s.w.t tentukan untuknya.
Apa yang Allah s.w.t
takdirkan itulah yang paling baik, dan Allah s.w.t akan karuniakan kepadanya
kemampuan melihat dengan mata hati dan bertindak melalui Petunjuk Laduni, tidak
lagi melalui fikiran, kehendak diri sendiri atau angan-angan.
Pengalaman tentang hakikat
dikatakan memandang dengan mata hati yg melihat atau menyaksikan keesaan Allah
s.w.t kemudian hati merasakan akan keadaan keesaan itu, sehingga hanya melihat
pada Wujud Allah s.w.t (tidak lagi melihat kepada wujud dirinya).