PERGI HAJI HANYA DENGAN UANG SERATUS RUPIAH
Bismillah ... TAHUN 1991, ibadah haji, ONH-nya
sekitar enam juta rupiah.
Bertambah lama seiring dengan perubahan nilai tukar
rupiah, ONH semakin misalnya tujuh juta, sembilan juta, dua belas juta, dua
puluh satu juta, dua puluh lima juta rupiah,
Bagaimana kalau ada orang yang pergi haji dengan
modal ‘seratus rupiah’ saja?
Pada hari minggu pagi yang cerah, seperti biasanya
saya pergi belanja di salah satu pasar. Suatu ketika saya belanja palawija pada
seorang ibu setengah baya. Ada satu hal yang membuat saya terpana. Saya sangat
tertarik melihat cara ibu tersebut melayani pembelinya.
Karena tertarik, maka setiap saya pergi ke pasar
tersebut saya selalu memperhatikan lebih seksama lagi terhadap perilakunya.
Beberapa kali saya perhatikan menjadikan saya lebih ‘penasaran’ untuk lebih
mengikuti secara rutin kejadian demi kejadian yang ‘diperagakan’ oleh ibu
tersebut.
Katakanlah ia bernama Ibu Asih. Apa yang
dilakukannya setiap ia melayani pembelinya? Yang membuat saya kagum tiada
habisnya ialah, setiap ia selesai menjual barang dagangannya, secara spontan
mulutnya selalu bergumam lirih dengan ucapan “Alhamdulillah.”
Apakah dagangannya laku sedikit atau laku banyak,
selalu saja mulutnya bergumam alhamdulillah sebagai ungkapan rasa syukurnya.
Yang lebih menarik lagi ialah setiap ada orang
peminta-minta yang menengadahkan tangannya, tidak satupun yang tidak diberinya,
demikian pula tak satupun seorang pengamen yang lewat yang tidak diberinya.
Meskipun ia sedang sibuk melayani orang-orang yang
sedang membeli barang dagangannya, selalu saja ia menyempatkan tangannya untuk
memberi mereka. Diambilnya uang logam seratus rupiah, yang rupanya sudah
disediakan untuk orang-orang tersebut.
Sayangnya saya tidak pernah bertanya kepadanya
kira-kira ada berapa puluh orang dalam satu hari ia memberi orang miskin dan
para pengamen tersebut .
Ini sebuah kejadian yang nampaknya biasa-biasa saja.
Tetapi memiliki nilai yang sangat tinggi dalam kehidupan sosial maupun dalam
kehidupan religius. Ucapan syukur beserta penghayatan dan sekaligus
pengamalannya telah diperagakan oleh ibu Asih. Meskipun dengan cara sederhana
dan dengan nilai rupiah yang kecil.
Hal ini sangat berbeda sekali dengan kondisi sebuah
toko yang lebih besar, yang letaknya tidak seberapa jauh dari ibu penjual
palawija ini.
Di depan toko itu tertempel kertas putih bertuliskan
kalimat yang cukup ‘sopan’ yaitu : ‘maaf, ngamen gratis’
Sebuah retorika yang cukup sopan dan lembut, tetapi
jika dilihat dari sudut pandang yang lebih arif, kita bisa menyimpulkan bahwa
hati dan perasaan ibu Asih jauh lebih lembut dari pemilik toko tersebut.
Saya menaksir bahwa keuntungan yang diraih oleh
pemilik toko tersebut nampaknya cukup besar setiap harinya. Tetapi ia tidak mau
dan tidak rela ‘berbagi rasa’ dengan para pengamen dan para pengemis, walaupun
hanya seratus rupiah saja.
Sungguh sangat berbeda dengan kondisi ibu Asih, yang
dagangannya jauh lebih kecil dibanding toko tersebut, tetapi ia mempunyai hati
yang lembut dan rasa welas asih kepada para pengamen dan para peminta-minta.
Setelah saya amati sekian lama, hasil dari perilaku
ibu Asih tersebut sungguh luar biasa. Kami perhatikan barang dagangannya
bertambah lama semakin bertambah besar. Dan klimaksnya, beberapa waktu yang
lalu ia dapat pergi menunaikan ibadah Haji bersama suaminya.
Dan saya pun merenung. Allah telah mengganti nilai
seratus rupiah yang diperuntukkan bagi orang-orang miskin itu. Sekarang tumbuh
menjadi dua buah ONH bu Asih dan suaminya. Sungguh luar biasa!
Satu lagi yang dapat saya simpulkan, bahwa ucapan
alhamdulillah di bibir ibu Asih mempunyai timbangan setara dengan lima puluh
juta rupiah. Subhaanallah…
Apa janji Allah Swt?
“Barangsiapa yang mensyukuri
nikmatKu, pasti akan Aku tambah, dan barang siapa yang lalai dan kufur terhadap
nikmatKu, maka tunggulah siksaKu amatlah pedihnya.” (QS. Ibrahim : 7).
Melihat contoh sederhana dalam kehidupan semacam
ini, sebagai orang yang beriman tentu hati kita menjadi tergerak untuk
menirunya. Meniru kelemahlembutan hatinya. Meniru kepeduliannya. Meniru rasa
percaya dirinya akan balasan dari Allah Swt. Dan meniru bagaimana cara
mengungkapkan rasa syukurnya.
Yah, kadang-kadang manusia memang harus banyak
belajar dari manusia lainnya. Bahkan dari semua peristiwa yang telah terjadi.
Karena semua peristiwa yang telah terjadi di dunia ini adalah contoh berharga
yang harus kita pelajari, kita baca, dan kita renungkan. Semua itu merupakan
ilmu Allah yang sangat mahal nilainya.
Dengan ‘modal’ seratus rupiah, bu Asih berangkat
Haji bersama suami. [keajaiban sedekah]
Wallahu Ta'ala A'la Wa A'lam Bis-Shawab.