Apa itu Shalat Awwabin? Apa yang dimaksud shalat awwabin? Mungkin
kita pernah mendengar dari sebagian orang yang menyebutnya, namun barangkali
belum tahu maksudnya.
Shalat awwabin bisa ditujukan pada dua
maksud:
Pertama: Shalat Awwabin adalah
shalat Dhuha
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُحَافِظُ
عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى إِلاَّ أَوَّابٌ، وَهِيَ صَلاَةُ الأَوَّابِيْنَ
“Tidaklah
menjaga shalat sunnah Dhuha melainkan awwab (orang yang kembali taat). Inilah
shalat awwabin.” (HR. Ibnu Khuzaimah, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam
Shahih At-Targhib wa At-Tarhib 1: 164).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Awwab
adalah muthii’ (orang yang taat). Ada pula ulama yang mengatakan bahwa maknanya
adalah orang yang kembali taat” (Syarh Shahih Muslim, 6: 30).
Kedua: Shalat Awwabin adalah shalat sunnah
enam raka’at setelah maghrib
Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ صَلَّى
سِتَّ رَكَعَاتٍ بَعْدَ الْمَغْرِبِ لَمْ يَتَكَلَّمْ بَيْنَهُنَّ بِسُوءٍ عُدِلَتْ
لَهُ عِبَادَةَ اثْنَتَىْ عَشْرَةَ سَنَةً
“Siapa
yang shalat enam raka’at ba’da Maghrib, dan ia tidak berbicara kejelekan di
antaranya, maka ia dicatat seperti ibadah 12 tahun.” (HR. Ibnu Majah, no. 1167;
Tirmidzi, no. 435. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini
dha’if jiddan. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini dha’if jiddan)
Al-Mawardi mengatkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tersebut dan mengatakan,
هَذِهِ
صَلاَةُ الأَوَّابِيْنَ
“Ini
adalah shalat awwabin.” (HR. Ibnu ‘Abidin, 1: 453. Imam Asy-Syaukani mengatakan
bahwa hadits ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi bahwa hadits ini terdapat perawi
yang tidak diketahui)
Kalau kita telusuri, ternyata hadits yang
membicarakan shalat awwabin untuk shalat sunnah antara Maghrib dan ‘Isya itu
dha’if dari sisi periwayatan hadits.
Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam masih melakukan shalat antara Maghrib dan Isya.
Dari
Hudzaifah, ia berkata,
جِئْتُ
النبي صلى الله عليه وسلم فَصَلَّيْتُ مَعَهُ الْمَغْرِبَ ، فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ
قَامَ يُصَلِّي ، فَلَمْ يَزَلْ يُصَلِّي حَتَّى صَلَّى الْعِشَاءَ
“Aku
pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku melaksanakan shalat
bersama beliau yaitu shalat Maghrib. Setelah selesai shalat, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berdiri lalu melaksanakan shalat lagi (shalat sunnah). Beliau
terus menerus shalat hingga datang shalat ‘Isya’.”
Juga ada pemahaman dari sebagian sahabat
mengenai shalat antara Maghrib dan ‘Isya’. Mengenai firman Allah Ta’ala,
تَتَجَافَى
جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ
“Lambung
mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan
penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami
berikan.”
(QS. As-Sajdah: 16).
Disebutkan,
“Mereka (sifat orang shalih) melaksanakan shalat sunnah.” Yang dimaksud di sini
adalah shalat sunnah antara Maghrib dan Isya.
Ulama lain seperti Al-Hasan Al-Bashri
menafsirkan ayat itu dengan menyatakan, mereka melakukan shalat malam. (HR. Abu
Daud, no. 1321. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if.
Syaikh Al-Albani berpendapat bahwa hadits ini shahih)
Ibnu Mardawaih dalam tafsirnya, dari Anas
radhiyallahu ‘anhu berpendapat mengenai ayat di atas, mereka melakukan shalat
(sunnah) antara Maghrib dan Isya.
Al-‘Iraqi mengatakan bahwa sanad hadits ini
jayyid, sebagaimana dinukil dari ‘Aunul Ma’bud.
Imam
Asy-Syaukani dalam Nail Al-Authar (3: 68) berkata, “Ayat dan hadits yang
disebutkan dalam bab menyebutkan akan disyari’atkannya memperbanyak shalat
(sunnah) antara Maghrib dan Isya.
Hadits-hadits yang ada walaupun dha’if namun
bisa menguatkan satu dan lainnya. Apalagi hadits tersebut membicarakan tentang
fadhilah amal.
Al-‘Iraqi berkata bahwa ada sahabat yang
melakukan shalat antara Maghrib dan Isya yaitu ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah
bin ‘Amr, Salman Al-Farisi, Ibnu ‘Umar, Anas bin Malik dan beberapa kalangan
Anshar.
Dari kalangan tabi’in, ada juga yang
berpendapat seperti itu, contohnya Al-Aswad bin Yazid, Abu ‘Utsman An-Nahdi,
Ibnu Abi Mulaikah, Sa’id bin Jubair, Muhammad bin Al-Munkadir, Abu Hatim,
‘Abdullah bin Sakhbarah, ‘Ali bin Al-Husain, Abu ‘Abdirrahman Al-Habli, Syuraih
Al-Qadhi, ‘Abdullah bin Mughaffal dan selain mereka.
Sedangkan dari kalangan ulama setelah itu ada
Sufyan Ats-Tsauri.”
Dari kalangan ulama Syafi’iyah, mereka
bersendirian mengatakan bahwa shalat awwabin adalah shalat sunnah antara shalat
Maghrib dan shalat ‘Isya.
Shalat tersebut dinamakan pula shalat
ghaflah. Karena shalat tersebut dilakukan saat orang-orang ghaflah (lalai),
kebanyakan orang di waktu tersebut disibukkan dengan makan malam, tidur, dan
lainnya.
Ulama Syafi’iyah
berpandangan bahwa jumlah raka’at shalat tersebut adalah 20 raka’at. Dalam
pendapat lainnya disebutkan hanya enam raka’at. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 27:
135)
Kesimpulannya, shalat awwabin adalah shalat
dhuha. Bisa juga shalat awwabin dimaksudkan untuk shalat sunnah antara Maghrib
dan Isya menurut sebagian ulama.
Kalau membicarakan dengan jumlah raka’at
tertentu (seperti enam raka’at), haditsnya lemah. Namun kalau tanpa menetapkan
batasan raka’at, maka ada contohnya.
Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga
menjadi ilmu yang bermanfaat. Referensi: Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit
Kementrian Agama Kuwait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar