KEWAJIBAN MENAFKAHI KEDUA ORANG TUA
Diantara bentuk berbuat baik kepada kedua orangtua adalah dgn memberikan nafkah atau
menanggung nafkah keduanya saat mereka sangat-sangat membutuhkan orang yg menafkahi mereka.
Khususnya, anak-anak mereka yg mampu dan berkelapangan. Sebabnya, anak adalah orang yg paling dekat kepada orangtuanya.
Jika seorang anak yg berkecukupan menanggung nafkah kedua orangtuanya yg miskin, maka itu merupakan kewajiban yg sangat penting dan memiliki pahala yg besar.
Para ulama juga telah bersepakat akan kewajiban ini. Ibnul Mundzir berkata:
"Para ulama sepakat, menafkahi kedua orangtua yg miskin yg tidak punya pekerjaan dan tidak punya harta merupakan kewajiban yg ada dalam harta anak, baik kedua orangtua itu muslim atau kafir, baik anak itu laki-laki atau perempuan."
Dan disyaratkan kewajiban menafkahi ini adalah kelapangan rizki si munfik (anak) dan kesulitan yg dialami orangtua dan butuhnya ia kepada nafkah tersebut.
(Lihat: Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah: 39/22)
(Lihat: Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah: 39/22)
Jika kondisi anak miskin maka ia tidak berkewajiban memberikan nafkah kepada orangtuanya atau orang terdekatnya.
Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni (9/258) menjelaskan tentang adanya tiga syarat dalam kewajiban nafkah ini:
Pertama, orang yg dinafkahi (orangtua) adalah orang miskin yg tidak memiliki harta dan pekerjaan yg mencukupkannya dari mengharapkan nafkah orang lain.
Sebaliknya, jika orangtua punya banyak harta atau pekerjaan yg mencukupinya maka ia tidak wajib diberi nafkah. Karena nafkah ini sebagai bentuk bantuan, sedangkan orang yg banyak harta tidak butuh kepada bantuan.
Kedua, orang yg wajib menafkahi telah berkecukupan untuk menafkahi dirinya sendiri; baik dari hartanya atau pekerjaannya.
Sedangkan orang yg tidak memiliki harta yg lebih maka ia tak berkewajiban sama sekali.
Hal ini berdasarkan hadits shahih riwayat Jabir, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
.
إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فَقِيرًا فَلْيَبْدَأْ بِنَفْسِهِ فَإِنْ كَانَ فِيهَا فَضْلٌ فَعَلَى عِيَالِهِ فَإِنْ كَانَ فِيهَا فَضْلٌ فَعَلَى ذِى قَرَابَتِهِ
.
"Apabila salah seorang kalian miskin maka hendaklah ia mulai dari dirinya sendiri. Jika telah lebih maka atas keluarganya. Jika masih ada lebihnya maka kepada kerabat dekatnya."
(HR. Abu Dawud)
.
إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فَقِيرًا فَلْيَبْدَأْ بِنَفْسِهِ فَإِنْ كَانَ فِيهَا فَضْلٌ فَعَلَى عِيَالِهِ فَإِنْ كَانَ فِيهَا فَضْلٌ فَعَلَى ذِى قَرَابَتِهِ
.
"Apabila salah seorang kalian miskin maka hendaklah ia mulai dari dirinya sendiri. Jika telah lebih maka atas keluarganya. Jika masih ada lebihnya maka kepada kerabat dekatnya."
(HR. Abu Dawud)
Ketiga, orang yg menafkahi adalah warisnya.
Karena antara yg diwarisi dan mewarisi ada hubungan kekerabatan maka
Karena antara yg diwarisi dan mewarisi ada hubungan kekerabatan maka
keberadaan waris lebih berhak terhadap harta orang yg diwarisi dari sekalian manusia maka selayaknya ia berkekhususan untuk menafkahinya daripada selainnya.
Hal ini didasarkan kepada firman Allah Ta'ala,
.
وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
.
"Dan waris pun berkewajiban demikian." (QS. Al-Baqarah: 233)
.
وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
.
"Dan waris pun berkewajiban demikian." (QS. Al-Baqarah: 233)
-------------------------------------------
Di sini perlu dicatat, bahwa jika misalnya orangtua mampu sehingga ia tidak diwajibkannya memberi nafkah
untuk orangtua yg berkecukupan bukan berarti si anak tidak dianjurkan untuk memberikan sesuatu dari hartanya kepada orangtuanya.
Ia tetap dianjurkan untuk memberi hadiah, oleh-oleh, atau jatah bulanan sebagai kesempurnaan ihsan (berbuat baik) kepada keduanya
walau kedua tidak betul-betul membutuhkannya.
Kecuali orangtuanya yang menolak karena kasihan kepada anaknya atau supaya disalurkan kepada yg lebih membutuhkan. Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar