Assalamu’alaikum warahmatullaahi
wabarakaatuh.
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Alhamdulillaahirrahmaanirrahiim. Allahumma
sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad .
Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin .
Laa ilaaha illa anta subhanaka inni kuntu
minadz dzoolimiin.
Ya ayyuhal adziina aamanut taqullooha ,
haqqo tuqootihi wa antum muslimuun
Amma
ba’du ;
Wahai saudaraku masih banyak orang tua
menyanjung anak2nya hanya karena mereka memiliki kelebihan yang disukainya .
Sebaliknya membenci anak anak2nya hanya
karena banyak sikap dan prilaku yang tidak disukainya .
Sadarilah bahwa mereka itu adalah titipan
Allah yang harus kita hantarkan agar menjadi manusia yang bertanggung jawab
terhadap dirinya, orang tuanya, keluarganya, agamanya dan yang paling utama
adalah tanggung jawab terhadap Allah .
Kisah berikut ini adalah sikap dan
perlakukan seorang ayah terhadap putranya , yang bisanya hanya marah2 saja tapi
tak pernah mendidik putrnya sesuai dengan harapannya.
Segalanya diserahkan kepada ibunya saja
dengan alasan karena dirinya sibuk dengan kerjaannya . Untuk itu anaknya juga
harus bisa dan mampu seperti dirinya. Karena dirinya juga dulu berawal dari
anak orang yang susah dan nggak mampu.
Pada
suatu hari ayahnya marah karena nilai raport anaknya itu sangat buruk .
“Goblok
kamu ya…” Kata Suamiku sambil melemparkan buku rapor sekolah Doni.
Kulihat suamiku berdiri dari tempat duduknya dan kemudian dia menarik kuping Doni dengan keras.
Doni meringis.
Kulihat suamiku berdiri dari tempat duduknya dan kemudian dia menarik kuping Doni dengan keras.
Doni meringis.
Tak berapa lama Suamiku pergi kekamar dan keluar kembali membawa penepuk nyamuk. Dengan garang suamiku memukul Doni berkali kali dengan penepuk nyamuk itu . Penepuk nyamuk itu diarahkan kekaki, kemudian ke punggung dan terus , terus.
Doni menangis “ Ampun, ....ayah..ampun ayah..” Katanya dengan suara terisak isak. Wajahnya memancarkan rasa takut. Dia tidak meraung. Doni tegar dengan siksaan itu. Tapi matanya memandangku sebagai ibunya . Dia membutuhkan perlindunganku. Tapi aku tak sanggup karena aku tahu betul sifat suamiku.
“Lihat
adik adikmu. Mereka semua pintar pintar sekolah. Mereka rajin belajar. Ini kamu
anak tertua malah malas dan tolol,, Mau
jadi apa kamu nanti ? Mau jadi beban adik adik kamu ya…he “ Kata suamiku dengan
suara terengah engah kelelahan memukul Doni.
Suamiku terduduk dikorsi. Matanya kosong memandang kearah Doni dan kemudian melirik kearah ku .
“
Kamu ajarin dia. Aku tidak mau lagi lihat lapor sekolahnya buruk. "Dengar
itu..!!!“ . Kata suamiku kepadaku sambil berdiri dan masuk kekamar tidur.
Kupeluk
Doni. Matanya memudar. Aku tahu dengan nilai lapor buruk dan tidak naik kelas
saja dia sudah malu apalagi di maki maki dan dimarahi didepan adik adiknya. Dia
malu sebagai anak tertua. Kembali matanya memandangku. Kulihat dia butuh
dukunganku.
Kupeluk
Doni dengan erat “ Anak bunda, tidak tolol" Anak bunda pintar kok. Besok
ya rajin ya belajarnya”
“
Doni udah belajar sungguh sungguh, bunda, Bunda kan lihat sendiri. Tapi Doni
memang engga pintar seperti Ruli dan Rini. Kenapa ya Bunda” Wajah lugunya membuatku
terenyuh.. “
Aku
menangis “ Doni, pintar kok* Doni kan anak ayah. Ayah Doni pintar tentu Doni
juga pintar. “
“
Doni bukan anak ayah.” Katanya dengan mata tertunduk *“ Doni telah mengecewakan
Ayah, ya bunda “*
Malamnya
, adiknya Ruli yang sekamar dengannya membangunkan kami karena ketakutan
melihat Doni mengigau terus. Aku dan
suamiku berhamburan kekamar Doni.
Kurasakan badannya panas. *Kupeluk Doni dengan sekuat jiwaku untuk menenangkannya*
Matanya melotot kearah kosong. Kurasakan badannya panas. *Segera kukompres kepalanya dan suamiku segera menghubungi dokter keluarga*
Kurasakan badannya panas. *Kupeluk Doni dengan sekuat jiwaku untuk menenangkannya*
Matanya melotot kearah kosong. Kurasakan badannya panas. *Segera kukompres kepalanya dan suamiku segera menghubungi dokter keluarga*
Doni
tak lepas dari pelukanku “ Anak bunda, buah hati bunda, kenapa sayang. Ini
bunda,..” Kataku sambil terus membelai kepalanya. Tak berapa lama matanya mulai
redup dan terkulai.
Dia mulai sadar. Doni membalas pelukanku. ‘ *Bunda, temani Doni tidur ya."* Katanya sayup sayup.
Suamiku hanya menghelap nafas. Aku tahu suamiku merasa bersalah karena kejadian siang tadi.
Dia mulai sadar. Doni membalas pelukanku. ‘ *Bunda, temani Doni tidur ya."* Katanya sayup sayup.
Suamiku hanya menghelap nafas. Aku tahu suamiku merasa bersalah karena kejadian siang tadi.
Doni
adalah putra tertua kami.
*Dia lahir memang ketika keadaan keluarga kami sadang sulit* Suamiku ketika itu masih kuliah dan bekerja serabutan untuk membiayai kuliah dan rumah tangga. Ketika itulah aku hamil Doni. Mungkin karena kurang gizi selama kehamilan tidak membuat janinku tumbuh dengan sempurna. *Kemudian , ketika Doni lahir kehidupan kami masih sangat sederhana* Masa balita Doni pun tidak sebaik anak anak lain. Diapun kurang gizi.
Tapi ketika usianya dua tahun, kehidupan kami mulai membaik seiring usainya kuliah suamiku dan mendapatkan karir yang bagus di BUMN. Setelah itu aku kembali hamil dan Ruli lahir, juga laki laki
dan dua tahu setelah itu, Rini lahir, adik perempuannya.
Kedua putra putriku yang lahir setelah Doni mendapatkan lingkungan yang baik dan gizi yang baik pula.
Makanya mereka disekolah pintar pintar. Makanya aku tahu betul bahwa kemajuan generasi ditentukan oleh ketersediaan gizi yang cukup dan lingkungan yang baik.
Tapi
keadaan ini tidak pernah mau diterima oleh Suamiku. Dia punya standard yang
tinggi terhadap anak anaknya. Dia ingin
semua anaknya seperti dia. Pintar dan cerdas.
“ Masalah Doni bukannya dia tolol, Tapi dia malas. Itu saja. “ Kata suamiku berkali kali. Seakan dia ingin menepis tesis tentang ketersediaan gizi sebagai pendukung anak jadi cerdas.
“ Masalah Doni bukannya dia tolol, Tapi dia malas. Itu saja. “ Kata suamiku berkali kali. Seakan dia ingin menepis tesis tentang ketersediaan gizi sebagai pendukung anak jadi cerdas.
*“
Aku ini dari keluarga miskin* *Manapula aku ada gizi cukup.* *Mana pula orang
tuaku ngerti soal gizi.* Tapi nyatanya aku berhasil. “ Aku tak bisa berkata
banyak untuk mempertahankan tesisku itu.
Seminggu
setelah itu, suamiku memutuskan untuk mengirim Doni kepesantren. AKu tersentak.?!!!!??
*“
Apa alasan Mas mengirim Doni ke Pondok Pesantren “* “ Biar dia bisa dididik
dengan benar” *“ Apakah dirumah dia
tidak mendapatkan itu”*
“
Ini sudah keputusanku, Titik.
*“
Tapi kenapa , Mas” AKu berusaha ingin tahu alasan dibalik itu.*
Suamiku
hanya diam. Aku tahu alasannya. Dia tidak ingin ada pengaruh buruk kepada kedua
putra putri kami. Dia malu dengan tidak
naik kelasnya Doni. Suamiku ingin
memisahkan Doni dari adik adiknya agar jelas mana yang bisa diandalkannya dan
mana yang harus dibuangnya.
Mungkinkah
itu alasannya. *Bagaimanapun , bagiku* *Doni akan tetap putraku* *dan aku akan selalu ada untuknya* Aku tak
berdaya. Suamiku terlalu pintar bila
diajak berdebat.
Ketika
Doni mengetahui dia akan dikirim ke Pondok Pesantren, dia memandangku. Dia
nampak bingung.
*Dia terlalu dekat denganku dan tak ingin berpisah dariku.* *Dia peluk aku “ Doni engga mau jauh jauh dari bunda” Katanya.*
*Dia terlalu dekat denganku dan tak ingin berpisah dariku.* *Dia peluk aku “ Doni engga mau jauh jauh dari bunda” Katanya.*
Tapi
seketika itu juga suamiku membentaknya “ Kamu ini laki laki. TIdak boleh
cengeng. Tidak boleh hidup dibawah ketika ibumu. Ngerti. ...!!!! Kamu harus ikut kata Ayah. *Besok Ayah akan urus kepindahan kamu ke
Pondok Pesantren. “*
Setelah
Doni berada di Pondok Pesantren setiap hari aku merindukan buah hatiku. Tapi suamiku nampak tidak peduli. “ Kamu tidak
boleh mengunjunginya di pondok. Dia harus diajarkan mandiri.
Tunggu saja kalau liburan dia akan pulang” Kata suamiku tegas seakan membaca kerinduanku untuk mengunjungi Doni.
Tak
terasa Doni kini sudah kelas 3 Madrasah Aliyah atau setingkat SMU. Ruli kelas 1
SMU dan Rini kelas 2 SLP. *Suamiku tidak
pernah bertanya soal Raport sekolahnya* Tapi
aku tahu raport sekolahnya tak begitu bagus tapi juga tidak begitu buruk.
Bila liburan Doni pulang kerumah, Doni lebih banyak diam. Dia makan tak pernah berlebihan dan tak pernah bersuara selagi makan sementara adiknya bercerita banyak soal disekolah dan suamiku menanggapi dengan tangkas untuk mencerahkan.
Walau dia satu kamar dengan adiknya namun kamar itu selalu dibersihkannya setelah bangun tidur. *Tengah malam dia bangun dan sholat tahajud dan berzikir sampai sholat subuh* Ku perhatikan tahun demi tahun perubahan Doni setelah mondok. Dia berubah dan berbeda dengan adik adiknya. Dia sangat mandiri dan hemat berbicara. *Setiap hendak pergi keluar rumah,* *dia selalu mencium tanganku dan setelah itu memelukku*
Beda sekali dengan adik adiknya yang serba cuek dengan gaya hidup modern didikan suamiku. Setamat Madrasa Aliyah, Doni kembali tinggal dirumah. Suamiku tidak menyuruhnya melanjutkan ke Universitas.
“ Nilai rapor dan kemampuannya tak bisa masuk universitas.
Sudahlah. Aku tidak bisa mikir soal masa depan dia. Kalau dipaksa juga masuk universitas akan menambah beban mentalnya. “ Demikian alasan suamiku.
Aku dapat memaklumi itu. *Namun suamiku tak pernah berpikir apa yang harus diperbuat Doni setelah lulus dari pondok* Donipun tidak pernah bertanya. Dia hanya menanti dengan sabar.
Selama
setahun setelah Doni tamat dari mondok, waktunya lebih banyak di habiskan di
Masjid. Dia terpilih sebagai ketua Remaja Islam Masjid.
*Doni
tidak memilih Masjid yang berada di komplek kami tapi dia memilih masjid
diperkampungan yang berada dibelakang komplek.* Mungkin karena inilah suamiku
semakin kesal dengan Doni karena dia bergaul dengan orang kebanyakan.
Suamiku sangat menjaga reputasinya dan tak ingin sedikitpun tercemar. Mungkin karena dia malu dengan cemoohan dari tetangga maka dia kadang marah tanpa alasan yang jelas kepada Doni. Tapi Doni tetap diam . Tak sedikitpun dia membela diri.
*Suatu
hari yang tak pernah kulupakan adalah ketika polisi datang kerumahku* Polisi mencurigai Doni dan teman temannya
mencuri di rumah yang ada di komplek kami.
Aku tersentak. Benarkah itu.
Aku tersentak. Benarkah itu.
*Doni sujud dikaki ku sambil berkata “ Doni tidak mencuri , Bunda.* TIdak, Bunda percayakan dengan Doni. Kami memang sering menghabiskan malam di masjid tapi tidak pernah keluar untuk mencuri.”
Aku meraung ketika Doni dibawa kekantor polisi. Suamiku dengan segala daya dan upaya membela Doni. Alhamdulilah Doni dan teman temannya terbebaskan dari tuntutan itu. Karena memang tidak ada bukti sama sekali.
Mungkin ini akibat kekesalan penghuni komplek oleh ulah Doni dan kawan kawan yang selalu berzikir dimalam hari dan menggangu ketenangan tidur. Tapi akibat kejadian itu , suamiku mengusir Doni dari rumah.
Doni tidak protes. Dia hanya diam dan menerima keputusan itu. *Sebelum pergi dia rangkul aku” Bunda , Maafkanku.* Doni belum bisa berbuat apapun untuk membahagiakan bunda dan Ayah.
*Maafkan Doni “* Pesannya.
*Diapun memandang adiknya satu satu.* *Dia peluk mereka satu persatu “ Jaga bunda ya.*
*Mulailah sholat dan jangan tinggalkan sholat. Kalian sudah besar .” demikian pesan Doni*.
*Suamiku nampak tegar dengan sikapnya untuk mengusir Doni dari rumah.*
*“
Mas, Dimana Doni akan tinggal. “ Kataku dengan batas kekuatan terakhirku
membela Doni.*
*“
Itu bukan urusanku. Dia sudah dewasa. Dia harus belajar bertanggung jawab
dengan hidupnya sendiri.*
Tak terasa sudah enam tahun Doni pergi dari Rumah. Setiap bulan dia selalu mengirim surat kepadaku.
Dari suratnya kutahu Doni berpindah pindah kota. *Pernah di Bandung, Jakarta, Surabaya dan tiga tahun lalu dia berangkat ke Luar negeri.*
*Bila membayangkan masa kanak kanaknya kadang aku menangis.* Aku merindukan putra sulungku. *Setiap hari kami menikmati fasilitas hidup yang berkecukupan.* Ruli kuliah dengan kendaraan bagus dan ATM yang berisi penuh. Rinipun sama.
Karir suamiku semakin tinggi. Lingkungan sosial kami semakin berkelas. Tapi, satu putra kami pergi dari kami. Entah bagaimana kehidupannya. Apakah dia lapar. *Apakah dia kebasahan ketika hujan karena tidak ada tempat bernaung.* Namun dari surat Doni , aku tahu dia baik baik saja.
Dia
selalu menitipkan pesan kepada kami, “ Jangan tinggalkan sholat. *Dekatlah kepada Allah maka Allah akan
menjaga kita siang dan malam. “*
Prahara
datang kepada keluarga kami. *Suamiku tersangkut kasus Korupsi.* Selama proses
pemeriksaan itu suamiku tidak dibenarkan masuk kantor. Dia dinonaktifkan.
Selama proses itupula suamiku nampak murung. Kesehatannya mulai terganggu. Suamiku mengidap hipertensi.
Dan
puncaknya , adalah ketika Polisi menjemput suamiku di rumah. Suamiku terbukti melakukan
tindak pidana korupsi. *Rumah dan semua
harta yang selama ini dikumpulkan disita oleh negara* Media massa memberitakan
itu setiap hari.
Reputasi yang selalu dijaga oleh suamiku selama ini ternyata dengan mudah hancur berkeping keping. Harta yang dikumpul, sirna seketika.
Kami
sekeluarga menjadi pesakitan. Ruli malas untuk terus keliah karena malu dengan
teman temannya. Rini juga sama yang tak
ingin terus kuliah.
Kini
suamiku dipenjara dan anak anak jadi bebanku dirumah kontrakan. Ya walau mereka sudah dewasa namun mereka
menjadi bebanku. Mereka tak mampu untuk menolongku.
Baru
kutahu bahwa selama ini kemanjaan yang diberikan oleh suamiku telah membuat
mereka lemah untuk survival dengan segala kekurangan. Maka jadilah mereka bebanku ditengah prahara
kehidupan kami.
Pada
saat inilah aku sangat merindukan putra sulungku. *Ditengah aku sangat merindukan itulah aku
melihat sosok pria gagah berdiri didepan pintu rumah.* Doniku ada didepanku dengan senyuman khasnya.
Dia menghambur kedalam pelukanku. “ *Maafkan aku bunda, Aku baru sempat datang sekarang sejak aku mendapat surat dari bunda tentang keadaan ayah. “* katanya.
Dari
wajahnya kutahu dia sangat merindukanku.
Rini dan Ruli juga segera memeluk Doni.
Mereka juga merindukan kakaknya. Hari itu, kami berempat saling
berpelukan untuk meyakinkan kami akan selalu bersama sama.
Kehadiran
Doni dirumah telah membuat suasana menjadi lain. Dengan bekal tabungannya
selama bekerja diluar negeri, Doni membuka usaha percetakan dan reklame.
Aku
tahu betul sedari kecil dia suka sekali menggambar namun hobi ini selalu di
cemoohkan oleh ayahnya. Doni mengambil alih peran ayahnya untuk melindungi
kami.
Tak
lebih setahun setelah itu, Ruli kembali kuliah dan tak pernah meninggalkan
sholat dan juga Rini. *Setiap maghrib dan subuh Doni menjadi imam kami sholat
berjamaah dirumah*
Seusai
sholat berjamaah Doni tak lupa duduk bersila dihadapan kami dan berbicara
dengan bahasa yang sangat halus , beda sekali dengan gaya ayahnya
"
Manusia tidak dituntut untuk terhormat dihadapan manusia tapi dihadapan Allah.
Harta dunia, pangkat dan jabatan tidak bisa dijadikan tolok ukur kehormatan. Kita
harus berjalan dengan cara yang benar dan itulah kunci meraih kebahagiaan dunia
maupun akhirat. Itulah yang harus kita perjuangkan dalam hidup agar mendapatkan
kemuliaan disisi Allah. Dekatlah kepada Allah maka Allah akan menjaga kita.
Apakah ada yang lebih hebat menjaga kita didunia ini dibandingkan dengan Allah.
“*
“
Apa yang menimpa keluarga kita sekarang bukanlan azab dari Allah* Ini karena
Allah cinta kepada Ayah. Allah cinta kepada kita semua karena kita semua punya
peran hingga membuat ayah terpuruk dalam perbuatan dosa sebagai koruptor.
Allah
sedang berdialog dengan kita tentang sabar dan ikhlas, tentang hakikat kehidupan,
tentang hakikat kehormatan. Kita harus mengambil hikmah dari ini semua untuk
kembali kepada Allah dalam sesal dan taubat.
*Agar
bila besok ajal menjemput kita, tak ada lagi yang harus disesalkan, Karna kita
sudah sangat siap untuk pulang keharibaan Allah dengan bersih. “*
*Seusai
Doni berbicara , aku selalu menangis* *Doni
yang tidak pintar sekolah, tapi Allah mengajarinya untuk mengetahui rahasia
terdalam tentang kehidupan dan dia mendapatkan itu untuk menjadi pelindung kami
dan menuntun kami dalam taubah*
*Ini
jugalah yang mempengaruhi sikap suamiku dipenjara* Kesehatannya membaik. Darah tingginya tak lagi sering naik. Dia ikhlas
dan sabar , dan tentu karena dia semakin dekat kepada Allah. *Tak pernah tinggal sholat sekalipun. Zikir
dan linangan airmata sesal akan dosanya telah membuat jiwanya tentram. Mahasuci
Allah*
Wahai
saudaraku dari cerita di atas terdapat beberapa pesan moral dlm cerita itu antara
lain :
*1).Jangan
memaksakan kemampuan anak*
*2).Jangan
merendahkan kemampuan anak*
*3).Kesuksesan
bukan hanya diukur dari kemampuan akademik/nilai raport*
*4).Anak
yg kelihatannya "terbelakang" belum tentu gagal*
*5).
Kasih sayang yg kita berikan kpd semua anak harus adil sesuai dng porsinya*
*6).Jangan
hanya memikirikan uang yg banyak tetapi tidak halal..*
Semoga
bermanfaat buat semua dan Allah jadikan kita semua dan keluarga kita menjadi
hamba yg di rahmati, di Ridhoi, di Berkahi jg di bebaskan dari siksa api
neraka... Dari Hamba Allah Yang HINA
*Aamiin...*
*Aamiin...*
Wallaahua’lam .
Subhanakalloohuma wa bihamdika asyhadu an laa
ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar