Berikan sebuah balasan
Dalam sebuah pernikahan itu seharusnya dari awal memiliki komitmen…
... komitmen yang
baik. Saling mengerti dan memahami antara tugas, hak dan kewajiban suami serta
istri.
Supaya tidak terjadi
masalah-masalah yang sulit dalam sebuah rumah tangga yang telah dijalani.
Ketika pagi menyapa
dalam keadaan buta, istri yang Anda cintai sudah terbangun.
Ia mempersiapkan semua
keperluan Anda sebelum beranjak kerja, kemudian membangunkan Anda dengan
sentuhan lembut sepenuh cintanya.
Menyiapkan air hangat
untuk mandi, sarapan agar tenagamu penuh, dan pakaian yang telah dicuci bersih,
disetrika rapih, dan disemproti minyak wangi.
Iya, istri Anda
melakukan itu sejak hari pertama pernikahan, hingga kini.
Silakan hitung, berapa
lama masanya? Berapa banyak yang harus ia korbankan untuk melakukan hal itu?
Setelah Anda pergi,
yang sebelumnya dilepas dengan doa yang tak putus, senyum yang senantiasa
merekah, wajah yang sumringah, dan salam lembut penuh doa,
pahamilah satu hal;
tengah mengantri sekian daftar kerjaan yang harus dikerjakan oleh istri yang
Anda sayangi itu.
Rumah, harus segera
dibersihkan. Mulai menyapu, mengepel lantai, jendela, merapikan kamar tidur,
mencuci piring, pakaian, dan masih banyak pekerjaan ‘remeh’ lain yang tidak
mungkin dan akan sangat melelahkan jika didetail satu persatu.
Setelahnya, ia
bergegas untuk mempersiapkan sarapan anak-anak yang hendak beranjak ke sekolah.
Jika pun hanya satu anak;
sadarilah bahwa ia
tidak akan mau mengonsumsi makanan yang sama setiap paginya.
Belum lagi jika anak
kita lebih dari satu; pertama nasi goreng, kedua nasi uduk, ketiga lontong
sayur, dan sebagainya.
Bukankah itu amat
melelahkan dan jauh lebih banyak dari tugas Anda di kantor mana pun anda
bekerja dengan jabatan setinggi apa pun?
Lalu, setelah istri
Anda satu-satunya itu seharian menyelesaikan pekerjaan rumahnya, di senja hari
Anda pulang dengan membawa lelah,
ia pun harus
mempersiapkan diri dengan penampilan terbaik untuk menyambut Anda.
Pasalnya, jika Anda
pulang sementara keadaannya awut-awutan tak jelas, ekspresi Anda langsung
kecut, cemberut, dan tak ‘berminat’ dengannya!
Maka, jika Anda ingin
belajar menjadi suami yang baik, cobalah pahami posisi dan kesibukannya yang
padat merayap itu.
Cukup memahami, jika
Anda tak kuasa menggerakkan anggota badan untuk membantu sebab merasa sudah
sibuk di luar dan cukup dengan peran sebagai pencari nafkah.
Dengan pemahaman yang
baik, saat pulang di senja hari saat rumah berantakan itu, minimal Anda tidak
akan mengatakan dengan nada Bos, “Kamu ngapain aja sih?
Tahu gak kalau Aku tuh
kelelahan? Seharian mencari nafkah untuk kamu dan anak-anak. Ngertiin Aku
dong!?”
Sebab, istri Anda
adalah pendamping hidup, belahan jiwa, penasihat yang bijak; bukan pembantumu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar