Assalamu’alaikum
Warahmatullaahi Wabarakaatuh.
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Kisah Menjadi Kaya karena
Menikah ini bisa dijadikan sebagai pembelajaran untuk kita semua .
Pada hari-hari pertama
pernikahan kami, suami bertanya, “Kemana saja uangmu selama ini?”
Pertanyaan
itu sungguh menggedor dadaku. Ya, kemana saja uangku selama ini? Buku
tabunganku tak pernah berisi angka belasan hingga puluhan juta.
Selalu hanya
satu digit. Itu pun biasanya selalu habis lagi untuk kepentingan yang agak
besar seperti untuk bayar kuliah (ketika aku kuliah) dan untuk kepentingan
keluarga besarku di kampung.
Padahal, kalau dihitung-hitung, gajiku tidaklah
terlalu kecil-kecil amat. Belum lagi pendapatan lain-lain yang kudapat sebagai
penulis, instruktur pelatihan menulis, pembicara di berbagai acara, guru privat,
honor anggota tim audit ataupun tim studi.
Lalu, kemana saja uangku selama ini?
Kepada suamiku, waktu itu aku membeberkan bahwa biaya operasional untuk
keaktifanku cukup besar.
Ongkos jalan, pulsa telepon, nombok biaya kegiatan,
makan dan traktiran. Intinya, aku mencari apologi atas aliran uangku yang tidak
jelas.
Namun diam-diam aku malu
padanya. Sesaat sebelum pernikahan kami, dia berkata, “Gajiku jauh dibawah
gajimu...”.
Kata-kata suamiku (ketika masih calon) itu membuatku terperangah.
“Yang benar saja?” sambutku heran.
Dengan panjang kali lebar kemudian dia
menjelaskan kondisi perusahaan plat merah tempatnya bekerja serta bagaimana
tingkat numerasinya.
Yang membuatku lebih malu lagi adalah karena dengan
gajinya yang kecil itu, setelah empat tahun hidup di Jakarta, ia telah mampu
membeli sebuah sepeda motor baru dan sebuah rumah (walaupun bertipe RSS) di
dalam kota Jakarta.
Padahal, ia tidak memiliki sumber penghasilan lain, dan
dikantornya dikenal sebagai seorang yang bersih, bahkan “tak kenal kompromi untuk
urusan uang tak jelas.”
Fakta bahwa gajinya kecil membuatku tahu bahwa suamiku
adalah seorang yang hemat dan pandai mengatur penghasilan. Sedang aku?
Hari-hari pertama kami
pindahan
Aku menata baju-baju kami di lemari. “Mana lagi baju, Mas?” tanyaku pada suami
yang tengah berbenah.
“Udah, itu aja!” Aku mengernyit. “Itu aja? Katanya
kemarin baju Mas banyak?” tanyaku lebih lanjut.
“Iya, banyak kan?” tegasnya
lagi tanpa menoleh. Aku kemudian menghitung dengan suara keras.
Tiga kemeja
lengan pendek, satu baju koko, satu celana panjang baru, tiga pasang baju
seragam. Itu untuk baju yang dipakai keluar rumah.
Sedang untuk baju rumah,
tiga potong kaos oblong dengan gambar sablon sebuah pesantren, dua celana
pendek sedengkul dan tiga pasang pakaian dalam.
Ketika kuletakkan dalam lemari,
semua itu tak sampai memenuhi satu sisi pintu sebuah lemari.
Namun dua lemari
besar itu penuh. Itu artinya pakaianku lebih dari tiga kali lipat lebih banyak
dibanding jumlah baju suamiku.
Kata orang, kaum wanita biasanya memang memiliki
baju lebih banyak dibanding kaum laki-laki.
Tapi isi lemari baju itu memberikan
jawaban atas banyak hal padaku. Terutama, pertanyaannya di hari-hari pertama
pernikahan kami tentang kemana saja uangku.
Isi lemari itu memberi petunjuk
bahwa selain untuk keluarga dan organisasi, ternyata aku menghabiskan cukup
banyak uang untuk belanja pakaian. Oo!
Pekan-pekan pertama aku
hidup bersamanya
Aku mencoba mencatat semua pengeluaran kami. Dan aku sudah mulai memasak untuk
makan sehari-hari.
Cukup pusing memang. Apalagi jika melihat harga-harga yang
terus melonjak. Tapi coba lihat...! Untuk makan seminggu, pengeluaran belanjaku
tak pernah lebih dari seratus ribu.
Padahal menu makanan kami tidaklah terlalu
sederhana: dalam seminggu selalu terselip ikan, daging atau ayam meski tidak
tiap hari. Buah–makanan kesukaanku dan susu minuman favorit suamiku selalu
tersedia di kulkas.
Itu artinya, dalam sebulan kami berdua hanya menghabiskan
kurang dari lima ratus ribu untuk makan dan belanja bulanan.
Aku jadi
berhitung, berapa besar uang yang kuhabiskan untuk makan ketika melajang? Aku
tak ingat, karena dulu aku tak pernah mencatat pengeluaranku dan aku tidak
memasak.
Tapi yang pasti, makan siang dan malamku rata-rata seharga sepuluh
hingga belasan ribu. Belum lagi jika aku jalan-jalan atau makan di luar bersama
teman.
Bisa dipastikan puluhan ribu melayang. Itu artinya, dulu aku
menghabiskan lebih dari 500ribu sebulan hanya untuk makan? Ups!
Baru sebulan menikah
“De, kulihat pembelian pulsamu cukup banyak? Bisa lebih diatur lagi?”
“Mas, untuk pulsa, sepertinya aku tidak bisa menekan. Karena itu adalah
saranaku mengerjakan amanah di organisasi.”
Si mas pun mengangguk. Tapi
ternyata, kuhitung dalam sebulan ini, pengeluaran pulsaku hanya 300 ribu,
itu
pun sudah termasuk pulsa untuk hp si Mas, lumayan berkurang dibanding dulu yang
nyaris selalu di atas 500 ribu rupiah.
Masih bulan awal
perkawinan kami
Seminggu pertama, aku diantar jemput untuk berangkat ke kantor. Tapi
berikutnya, untuk berangkat aku nebeng motor suamiku hingga ke jalan raya dan
meneruskan perjalanan dengan angkutan umum sekali jalan.
Dua ribu rupiah saja.
Pulangnya, aku naik angkutan umum. Dua kali, masing-masing dua ribu rupiah.
Sebelum menikah, tempat tinggalku hanya berjarak tiga kiloan dari kantor. Bisa
ditempuh dengan sekali naik angkot plus jalan kaki lima belas menit.
Ongkosnya
dua ribu rupiah saja sekali jalan. Tapi dulu aku malas jalan kaki.
Kuingat-ingat, karena waktu mepet, aku sering naik bajaj. Sekali naik enam ribu
rupiah.
Kadang-kadang aku naik dua kali angkot, tujuh ribu rupiah pulang pergi.
Hei, besar juga ya ternyata ongkos jalanku dulu?
Belum lagi jika hari Sabtu
Ahad. Kegiatanku yang banyak membuat pengeluaran ongkos dan makan Sabtu Ahadku
berlipat.
Belum lagi tiga bulan
menikah
“Ke ITC, yuk, Mas?” Kataku suatu hari. Sejak menikah, rasanya aku belum lagi
menginjak ITC, mall, dan sejenisnya. Paling pasar tradisional.
“Oke, tapi buat
daftar belanja, ya?” kata Masku. Aku mengangguk. Di ITC, aku melihat kesana
kemari. Dan tiap kali melihat yang menarik, aku berhenti.
Tapi si Mas selalu
langsung menarik tanganku dan berkata,”Kita selesaikan yang ada dalam daftar
dulu?” Aku mengangguk malu.
Dan aku kembali teringat, dulu nyaris setiap ada
kesempatan atau pas lewat, aku mampir ke ITC, mall dan sejenisnya.
Sekalipun
tanpa rencana, pasti ada sesuatu yang kubeli. Berapa ya dulu kuhabiskan untuk
belanja tak terduga itu?
Masih tiga bulan
pernikahan “Kita beli oleh-oleh sebentar ya, untuk Bude?” Masku meminggirkan
motor. Kios-kios buah berjejer di pinggir jalan.
Kami dalam perjalanan
silaturahmi ke rumah salah satu kerabat. Dan membawakan oleh-oleh adalah bagian
dari tradisi itu.
“Sekalian, Mas. Ambil uang
ke ATM itu...” Aku ingat, tadi pagi seorang tetangga ke rumah untuk meminjam
uang.
Ini adalah kesekian kali, ada tetangga meminjam kepada kami dengan
berbagai alasan. Dan selama masih ada si Mas selalu mengizinkanku untuk memberi
pinjaman (meski tidak langsung saat itu juga).
Semua itu membuatku tahu,
meskipun hemat, si Mas tidaklah pelit. Bersikaplah pertengahan, begitu katanya.
Jangan menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas, tapi jangan
lantas menjadi pelit!
Semester pertama
pernikahan
Mengkilat. Elegan. Kokoh. Masih baru. Gress. Begitu sedap dipandang mata. Benda
itu, sudah sekian lama kuinginkan.
Sebuah laptop baru kelas menengah (meski
masih termasuk kategori low end). Namun selama ini, setiap kali melihatnya di
pameran atau di toko-toko komputer, aku hanya bisa memandanginya dan bermimpi.
Tak pernah berani merencanakan, mengingat duitku yang tak pernah cukup.
Tapi
rasanya, dalam waktu dekat benda di etalase itu akan kumiliki. Rasanya sungguh
indah, memiliki sebuah benda berharga yang kubeli dengan uangku sendiri, uang
yang kukumpulkan dari gajiku.
Sejak menikah, aku tak
pernah lagi membeli baju untuk diriku sendiri. Pakaian dan jilbabku masih dapat
di-rolling untuk sebulan.
Sejak menikah, aku memilih membawa makan siang dari
rumah ke kantor. Aku juga jarang ke mall lagi.
Dan kini, setiap kali akan
membeli sesuatu, aku selalu bertanya: perlukah aku membeli barang itu?
Indahnya, aku menikmati semua itu. Dan kini, aku bisa menggunakan tabunganku
untuk sesuatu yang lebih berharga dan tentu saja bermanfaat bagi aktifitasku
saat ini, lingkunganku dan masa depanku nanti.
Aku bersyukur kepada Allah.
Semua ini, bisa dikatakan sebagai berkah pernikahan. Bukan berkah yang datang
tiba-tiba begitu saja dari langit.
Tapi berkah yang dikaruniakan Allah melalui
pelajaran berhemat yang dicontohkan oleh suamiku. Rabb, terima kasih atas
berkahMu...
Wassalamu’alaikum
warahmatullaahi wabarakaatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar