Rabu, 04 Desember 2013

UNTUK APAKAH SIKAP MENTAL YANG OBYEKTIF ?




SIKAP MENTAL YANG OBYEKTIF

Sikap mental yang obyektif artinya suatu sikap dalam menghadapi kenyataan hidup menurut keadaan sebenarnya. Misalnya kita hidupnya dalam keadaan mewah, namun tidak mendatangkan kebahagiaan melainkan rasa comfortable, enak, kepenak dan nikmat,

Harta, tahta, kuasa tidak pula mendatangkan rasa kaya, rasa berharga dan rasa mampu melainkan rasa dipandang atau dianggap kaya, terhormat dan berkuasa oleh orang banyak.Sedangkan mengejar kemewahan dan bersaing serta berebut harta, tahta dan kuasa selalu disertai rasa kemrungsung ( rasa tidak senang, tidak tenteram, cemas, takut, bimbang dan bingung ) dan rasa permusuhan ( rasa iri, benci, marah, dendam, sesal, kecewa ); semua rasa yang termasuk penderitaan jiwa.

Oleh karena itu tak perlu kita biarkan diri kita dijajah oleh nafsu akan kemewahan dan ambisi akan harta, tahta dan kuasa. Apalagi karena penjajahan oleh nafsu dan ambisi itu merupakan sumber dari perbuatan sewenang-wenang, penyelewengan, dan pengkhianatan sera merusak tertib dan damainya masyarakat.

Kalau kita bersedia mawas diri secara obyektif maka kita akan mudah temukan bahwa apa yang kita rasakan baik itu derita maupun bahagia tidak disebabkan oleh apa yang kita hadapi melainkan bagaimana kita menghadapinya. Kesadaran ini memungkinkan kita untuk tidak menyalahkan dunia luar dan untuk tidak mengejar-ngejar secara mati-matian apa yang kita hadapi. Sikap tidak menyalahkan menimbulkan rasa damai dan tidak mengejar-ngejar menimbulkan rasa tenteram.

Apabila kita mau mawas diri secara obyektif maka rasa kaya tidak bergantung pada banyaknya harta benda yang kita miliki, melainkan pada kemampuan kita untuk memberi dan mengabdi secara ikhlas dan sukarela.

Rasa berharga tidak bergantung pada tingginya kedudukan kita di dalam masyarakat, melainkan pada kesungguhan kita di dalam meyakini dan mengamalkan apa yang kita sadari sebagai makna eksistensi kita selaku makhluk Tuhan yang berbudi.

Rasa mampu dan merdeka tidak pula bergantung pada besarnya kekuasaan yang kita miliki, melainkan pada kemampuan untuk tidak membiarkan barang dan orang,  kebahagiaan kita ditentukan oleh  barang dan orang, keadaan dan kejadian,  melainkan oleh kemampuan kita untuk menghadapi dan menanggapi kenyataan hidup secara obyektif.

Singkatnya kita dapat menyadari bahwa kita sendirilah yang menentukan dan bertanggung jawab atas nasib kita masing-masing. Kemampuan ini memungkinkan kita merasa senantiasa gembira dan bergairah serta mampu memelihara rasa harga diri dan kedaulatan pribadi kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar