SIKAP MENTAL YANG OBYEKTIF
Sikap mental yang obyektif artinya suatu sikap dalam menghadapi
kenyataan hidup menurut keadaan sebenarnya. Misalnya kita hidupnya dalam
keadaan mewah, namun tidak mendatangkan kebahagiaan melainkan rasa comfortable,
enak, kepenak dan nikmat,
Harta, tahta, kuasa tidak pula mendatangkan rasa kaya, rasa
berharga dan rasa mampu melainkan rasa dipandang atau dianggap kaya, terhormat
dan berkuasa oleh orang banyak.Sedangkan mengejar kemewahan dan bersaing serta
berebut harta, tahta dan kuasa selalu disertai rasa kemrungsung ( rasa tidak
senang, tidak tenteram, cemas, takut, bimbang dan bingung ) dan rasa permusuhan
( rasa iri, benci, marah, dendam, sesal, kecewa ); semua rasa yang termasuk
penderitaan jiwa.
Oleh karena itu tak perlu kita biarkan diri kita dijajah oleh nafsu
akan kemewahan dan ambisi akan harta, tahta dan kuasa. Apalagi karena
penjajahan oleh nafsu dan ambisi itu merupakan sumber dari perbuatan
sewenang-wenang, penyelewengan, dan pengkhianatan sera merusak tertib dan damainya
masyarakat.
Kalau kita bersedia mawas diri secara obyektif maka kita akan mudah
temukan bahwa apa yang kita rasakan baik itu derita maupun bahagia tidak
disebabkan oleh apa yang kita hadapi melainkan bagaimana kita menghadapinya.
Kesadaran ini memungkinkan kita untuk tidak menyalahkan dunia luar dan untuk
tidak mengejar-ngejar secara mati-matian apa yang kita hadapi. Sikap tidak
menyalahkan menimbulkan rasa damai dan tidak mengejar-ngejar menimbulkan rasa
tenteram.
Apabila kita mau mawas diri secara obyektif maka rasa kaya tidak
bergantung pada banyaknya harta benda yang kita miliki, melainkan pada
kemampuan kita untuk memberi dan mengabdi secara ikhlas dan sukarela.
Rasa berharga tidak bergantung pada tingginya kedudukan kita di
dalam masyarakat, melainkan pada kesungguhan kita di dalam meyakini dan
mengamalkan apa yang kita sadari sebagai makna eksistensi kita selaku makhluk
Tuhan yang berbudi.
Rasa mampu dan merdeka tidak pula bergantung pada besarnya kekuasaan
yang kita miliki, melainkan pada kemampuan untuk tidak membiarkan barang dan
orang, kebahagiaan kita ditentukan oleh barang dan orang, keadaan dan kejadian, melainkan oleh kemampuan kita untuk
menghadapi dan menanggapi kenyataan hidup secara obyektif.
Singkatnya kita dapat menyadari bahwa kita sendirilah yang
menentukan dan bertanggung jawab atas nasib kita masing-masing. Kemampuan ini
memungkinkan kita merasa senantiasa gembira dan bergairah serta mampu
memelihara rasa harga diri dan kedaulatan pribadi kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar