Kamis, 10 Mei 2018

ORANG-ORANG YANG DIBOLEHKAN TIDAK BERPUASA.

Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh .
Bismillaahirrahmaanirrahiim .

a). Musafir (orang yang melakukan perjalanan atau bepergian ke luar kota).

Mereka diberi kemudahan oleh Allah untuk berbuka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya : _



“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain”.



[Al-Baqarah/2 :185]. 


Mereka diperbolehkan berbuka dan mengqadha (mengganti) puasanya pada bulan-bulan yang lainnya.

b).Orang yang sakit diperbolehkan berbuka puasa pada bulan Ramadhan sebagai rahmat dan kemudahan yang Allah limpahkan kepadanya. 


Orang Sakit yang dibolehkan untuk berbuka puasa, jika sakit tersebut dapat membahayakan jiwanya, 

atau menambah sakitnya yang ditakutkan akan mengakhirkan atau memperlambat kesembuhannya jika si penderita berpuasa.

c). Wanita yang sedang haid atau nifas diwajibkan berbuka, maksudnya tidak boleh berpuasa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :




أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَ لَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا



“Bukankah kalau dia sedang haid tidak boleh shalat dan tidak boleh puasa? Maka itulah kekurangan agamanya” 



[HR Bukhari].

Juga hadits Aisyah ketika beliau ditanya tentang wanita yang mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalatnya:



كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ صَوْمِنَا وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ صَلاَتِنَا


“Dulu kamipun mendapatkannya, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat”




[HR Bukhari dan Muslim].

Berdasarkan ijma’ para ulama, maka wanita yang sedang haid atau nifas, diwajibkan berbuka dan mengqadha puasanya pada bulan-bulan yang lain.

d). Orang yang sudah tua dan lemah, baik laki-laki maupun perempuan dibolehkan untuk berbuka, sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas: 



“Orang laki-laki dan perempuan tua yang sudah tidak mampu berpuasa, maka mereka memberi makan setiap hari seorang miskin”. 


[Riwayat Al Bukhari, no. 4505].

e). Wanita sedang hamil atau menyusui

yang takut terhadap keselamatan dirinya dan anak yang dikandungnya atau anak yang disusuinya, juga termasuk yang mendapat keringanan untuk berbuka. 

Tidak ada kewajiban bagi mereka, kecuali fidyah. Demikian ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan Ishaq. Dalilnya ialah firman Allah, yang artinya : 

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah (jika mereka tidak puasa), (yaitu) memberi makan seorang miskin. 


[Al-Baqarah/2 : 184].

Ayat ini dikhususkan bagi orang tua yang sudah lemah, orang sakit yang tidak kunjung sembuh, orang hamil dan menyusui jika keduanya takut terhadap keselamatan dirinya atau anaknya. 


Karena ayat di atas telah dinasakh oleh ayat yang lain, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdulah bin Umar dan Salamah bin Al Akwa’:



كُنَّا فِيْ رَمَضَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ فَافْتَدَى بِطَعَامِ مِسْكِيْنِ
حَتَّى نَزَلَتْ هَذِهِ الأَيَةُ : فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْ.

“Kami dahulu pada bulan Ramadlan dimasa Rasulullah saw yang mau berpuasa, boleh dan yang tidak bepuasa juga boleh, tapi memberikan makan kepada satu orang miskin, sampai turun ayat (yang artinya) 

“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu,

(Al Baqarah ayat 185)

Akan tetapi Ibnu Abbas berpendapat, bahwa ayat tersebut tidak dinasakh (dihapus). Ayat ini khusus bagi orang-orang tua yang tidak mampu berpuasa, dan mereka boleh memberi makan satu orang miskin setiap hari. 

(Lihat perkataannya yang diriwayatkan Ibnul Jarut, Baihaqi dan Abu Dawud dengan sanad shahih). 

Pendapat ini dikuatkan juga oleh hadits Mu’adz bin Jabal, ia berkata:

فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَيَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِلَى قَوْلِهِ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا أَجْزَأَهُ ذَلِكَ وَهَذَا حَوْلٌ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ إِلَى أَيَّامٍ أُخَرَ فَثَبَتَ الصِّيَامُ عَلَى مَنْ شَهِدَ الشَّهْرَ وَعَلَى الْمُسَافِرِ أَنْ يَقْضِيَ وَثَبَتَ الطَّعَامُ لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْعَجُوزِ اللَّذَيْنِ لَا يَسْتَطِيعَانِ الصَّوْمَ




“Sesungguhnya Rasulullah setelah datang ke Madinah memulai puasa tiga hari setiap bulan dan puasa hari Asyura, kemudian Allah turunkan firmanNya 
” Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kelian berpuasa…” sampai pada firmanNya “…memberi makan.”. 
Ketika itu, siapa yang ingin berpuasa, dia berpuasa. Dan yang ingin berbuka (tidak puasa), bisa menggantinya dengan memberi makan satu orang miskin. Ini selama satu tahun. 
Kemudian Allah menurunkan lagi ayat yang lain 
“Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya Al Qur’an …” sampai pada firmanNya “..di hari yang lain ..”. 
Maka puasa tetap wajib bagi orang yang mukim (tidak safar) pada bulan tersebut, dan bagi musafir wajib mengqadha puasanya, dan 
menetapkan pemberian makanan bagi orang-orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa … . ” 


[HR Abu Dawud, Baihaqi dan Ahmad].



Tidak ada komentar:

Posting Komentar