Assalamu’alaikum warahmatullaahi
wabarakaatuh.
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Alhamdulillaahirrahmaanirrahiim. Allahumma
sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad .
Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin .
Laa ilaaha illa anta subhanaka inni kuntu
minadz dzoolimiin.
Ya ayyuhal adziina
aamanut taqullooha , haqqo tuqootihi wa antum muslimuun
Amma ba’du ;
PERTUMBUHAN NABI
MUHAMMAD SAW DARI TAHUN KE TAHUN
.
Lima tahun, masa yang
telah memberikan kenangan indah dan kekal di dalam jiwanya.
Demikian Ibu Ḥalīmah rha. beserta
keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih sayang dan hormat selama hidupnya
itu.
Penduduk dusun itu
(Bani Sa‘ad) pernah mengalami masa paceklik yang hebat sesudah perkawinan Nabi
Muḥammad s.a.w. dan Khadījah rha.
Bilamana Ḥalīmah mengunjungi Nabi Muḥammad s.a.w. maka beliau
membentangkan pakaiannya yang paling berharga agar menjadi tempat duduk ibunya
sebagai tanda penghormatan dan sepulangnya ia dibekali dengan unta yang dimuati
air dan empat puluh ekor kambing.
Dan ketika Syaima
putri ibu Ḥalīmah, berada di bawah tawanan perang Ḥunain, kemudian
dibawa kepada Nabi Muḥammad s.a.w.,
beliau segera
mengenalinya dan memberikan penghormatan kepadanya serta mengembalikannya
kepada keluarganya sesuai dengan permintaan wanita itu.
Pada tahun ke-6
setelah lahirnya Baginda Nabi Muḥammad s.a.w.,
Ibu Āminah mengajak Muḥammad s.a.w. pergi mengunjungi
keluarga kakeknya ‘Abd-ul-Muththalib, yaitu Bani ‘Addī ibn Najjār selama satu bulan
dan Muḥammad s.a.w. pun mahir berenang
di telaga mereka.
Dalam perjalanan
pulang Ibu Āminah pun
menghembuskan nafas terakhirnya di desa Abwa; maka Muḥammad s.a.w. didampingi oleh
Ummu Aimān sampai ke kota Makkah.
Setelah sampai di
Makkah, ‘Abd-ul-Muththalib mengasuh Muḥammad s.a.w. dengan penuh kasih
sayang, sampai pada tahun ke-7 dari kelahirannya, ‘
Abd-ul-Muththalib
diundang oleh salah satu Raja Yaman Saif ibn Dzī
Yazīn al-Ḥimyarī
untuk menyambut perluasan kekuasaannya ke Shana‘a, maka
Raja tersebut sangat
memuliakan kakeknya ‘Abd-ul-Muththalib serta memberitahunya serta para tamu
undangannya dengan kenabian Muḥammad s.a.w. dan
‘Abd-ul-Muththalib sebagai ayahnya (kakeknya).
Kemudian pada tahun
ke-8 dari kelahirannya, wafat kakek tercinta ‘Abd-ul-Muththalib dan itu membuat
dirinya sangat sedih,
dan
‘Abd-ul-Muththalib telah berwasiat kepada anaknya Abū Thālib agar mengasuh Muḥammad s.a.w. sepeninggalannya.
Abū Thālib pun mengasuhnya
dengan penuh kasih sayang melebihi sayangnya terhadap anak-anaknya sendiri dan
menyaksikan betapa mulia dan agung akhlak yang dimilikinya.
Diriwayatkan oleh Imām as-Suyūthī rhm.
dari Ibnu ‘Abbās r.a.: “Bahwa Abū Thālib mendekatkan
kepada anak-anaknya wadah makanan, seketika itu juga anak-anaknya duduk dan
berebut
sedangkan Muḥammad s.a.w. menahan diri dan
tidak berebut bersama mereka, maka ketika Abū Thālib melihat kejadian itu Abū
Thālib pun memisahkan makanan untuk Muḥammad s.a.w.”
Wallaahua’lam
.
Subhanakalloohuma
wa bihamdika asyhadu an laa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar