Assalamu’alaikum
warahmatullaahi wabarakaatuh.
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Alhamdulillaahirrahmaanirrahiim. Allahumma
sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad .
Iyyaka na’budu wa
iyyaka nasta’iin .
Ya ayyuhal adziina
aamanut taqullooha , haqqo tuqootihi wa antum muslimuun
Amma ba’du ;
Tiba2 aku terbangun. Ketika jarum
jam menunjuk angka 2.34 pagi. Setengah mengantuk aku bergegas ke kamar kecil.
Enam detik kemudian aku terpaku
heran. Sdh ada ibu berdiri di depanku. Kenapa ibu ada di sini? Bukankah
almarhumah sdh lama meninggalkan kami.
Rasa kantung kemih penuh mendadak
hilang ditelan bumi. Seorang lelaki yg tak kukenal berdiri di samping ibu. Badannya
kurus, wajahnya tirus.
“Mas Bagus, ibu njaluk tulung yo.
(Ibu minta tolong). Kalau umroh
titip ini", ujar ibu dg logat Jawanya yg kental sambil menunjuk lelaki di
sampingnya.
“Nggih Bu. Tapi nuwun sewu, niku
sinten toh?” (iya bu, tapi maaf itu siapa) tanyaku heran. Ibu tidak menjawab.
Lelaki itu kupandangi kemudian.
IMRUL.
Aku melihat itu di atas saku
kemejanya. Di bawahnya ada berderetan angka. Jelas sekali semuanya terbaca.
*Tiba2 aku terbangun &
mengerjapkan mata.*
“Mas Bagus mimpi lagi ya?” ujar
istriku lembut sambil membelai kepalaku.
Jantungku berdegup keras.
“Ini sudah 3 kali mimpi yg sama,”
ujarku sambil bergegas pergi ke kamar kecil. Jarum jam 4.34 pagi. Adzan Subuh
berkumandang.
***
Sopirku Pak Sanusi, mendengus pelan
di belakang kemudi. Jakarta padat merayap malam hari ini. Duduk di kursi
belakang, aku sibuk dg MacBook Pro menyelesaikan laporan audit tahunan yg
hampir jatuh tempo. Saat Pak Sanusi meliukkan Toyota Camryku, aku jadi teringat
pd mimpi semlm.
Almarhumah ibu & Ielaki yg tak
pernah aku jumpa. Kemeja bertuliskan Imrul & sederetan angka.
Mungkinkah deretan angka itu nomor
handphone?
Apakah lelaki itu namanya Imrul?
Suara nada tunggu digantikan ucapan
salam terdengar dari seberang sana, saat aku coba hubungi nomor tsb. Suara
perempuan.
*“Apa saya bisa berbicara dg Pak
Imrul?”*, tanyaku sedikit ragu.
Hening tak ada jawaban smp bbrp
menit kemudian.
*“Assalamu’alaiku, Iya ini dg
Imrul,”* suara lelaki sopan.
Degh !! Ini pasti cuma kebetulan,
dan jantungku berdegup keras.
Tak ingin berlama-lama di telepon,
malam itu aku menyambangi rumah Imrul, lelaki kurus berwajah tirus tsb. Usianya
sekitaran 30 plus-minus.
Kami lesehan di atas lantai semen yg
sebagiannya retak, di ruang tamu sebuah rumah petak.
*“Panggil Mas Imrul saja,”*
ujarnya sopan.
Aku tersenyum bercampur heran. Dari
wajahnya, memang dialah lelaki yg ada dlm mimpiku itu.
*“Kalau boleh tahu, Bpk dapat nomor
telepon ini dari mana?”*
Dan berceritalah aku tentang mimpi
aneh yg berulang 3 kali itu. Mas Imrul diam. Wajahnya makin tirus mirip kucing
restoran berharap makanan.
*“Apa sampeyan pernah bertemu
almarhumah ibu saya?”*
tanyaku sambil menyodorkan foto
almarhumah di Instragram-ku.
Tak perlu waktu lama buatnya untuk
berkata *tidak*.
Aku menggaruk kepala.
*“Mas, kalau bukan karena almarhumah
ibu, saya tdk akan pedulikan mimpi itu”*,
ujarku pelan sambil memegang
pundaknya.
*“Saya ingin mengajak Mas Imrul
pergi umroh.”*
*“Tapi saya ini mantan napi Pak.
Belum sebulan bebas,”*
ujar Mas Imrul ragu. Sptnya dia tdk
percaya dg ucapanku / ajakanku umroh.
Bulu tengkuk di leherku berdesir
aneh.
***
*“Sampeyan dulu kenapa masuk
penjara?”* tanyaku, duduk di samping Mas Imrul yg sdg terpesona.
Seumur hidupnya dia baru pertama
kali naik pesawat sebesar ini. Perjalanan 9 jam di kelas bisnis Jakarta -
Jeddah, mubazir rasanya kalau tdk mencari tahu tentang dia. Lelaki biasa,
mantan narapidana ini.
*“Sebelum masuk bui, kerja saya sbg
satpam. Belum setahun, kantor yg saya jaga kerampokan. Teman sesama satpam,
ternyata berkomplot. Dua hari sesdh kejadian, semua pelakunya diringkus polisi.
Di pengadilan, teman itu berbohong kalau saya ikut terlibat. Padahal, waktu
kejadian malam itu saya diikat di toilet. Hakim lebih percaya dia, akhirnya
saya dipenjara. Vonisnya dua tahun,”* ujar Mas Imrul.
Aku menghela nafas.
*“Sebenarnya, yg bikin saya sedih
bukan itu Pak,”*
sambung Mas Imrul. Air matanya
sedikit meleleh.
*“Lalu apa Mas?”* tanyaku penasaran.
“Saya gundah & khawatir. Kalau
saya di penjara, siapa nanti yg akan merawat ibu. Saya anak satu-satunya.
Apalagi ibu sdh lama lumpuh & tdk bisa melihat. Setiap hari saya menyuapi
& memandikannya. Biar gaji kecil, setiap bulan saya selalu cukupkan membeli
susu Ibu. Biar ibu tetap sehat.” Kali ini bulir air matanya mulai berjatuhan.
*Duh Gusti Allah, ternyata aku jauh
dibanding Mas Imrul. Waktu almarhumah ibu dirawat di rumah sakit menjelang
wafatnya, aku malah sibuk persiapan rapat pemegang saham perusahaan. Astaghfirullah.*
“Terus siapa yg mengurus ibunya Mas
Imrul?” tanyaku sembari mengelap mata. Tak terasa aku ikutan menangis juga.
“Saya minta tolong Mbak Yuni,
saudara jauh dari kampung. Itu lho, perempuan yg menerima telepon Pak Bagus
tempo hari. Kebetulan saya masih ada sedikit tabungan, jadi semua uangnya
dipakai buat mengurus ibu selama saya di penjara. Dia yg mengurus ibu semenjak
itu. Saya minta dia datang tiap hari ke penjara, menceritakan kondisi ibu.
Kalau Mbak Yuni datang & cerita ttg Ibu, hati saya lega rasanya. Hati
selalu was-was kalau Mbak Yuni datangnya telat, khawatir ada apa-apa pd Ibu.”
Aku cuma menunduk. Malu pd lelaki di
sampingku ini. Jabatanku mentereng, gaji ratusan juta, tp tak bisa dibandingkan
dg ketulusan Mas Imrul dlm merawat ibunya. *Gusti Allah, apa yg Engkau mau dari
pertemuan aku dg lelaki sholeh ini?* Biar aku sadar kesalahanku? Bukankah
percuma krn almarhumah sdh tiada?
*“Baru 6 bulan di penjara, Mbak Yuni
kapan itu gak datang dua hari Pak”*, Mas Imrul melanjutkan ceritanya. *“Saya
was-was. Ternyata Ibu saya meninggal dunia Pak. Sedihnya lagi, Pak sipir
penjara nggak ngebolehin saya keluar sebentar buat nyekar ke makam. Saya cuma
bisa nangis di penjara Pak. Mohon ampun sama Allah.”*
Air mataku menderas. *Duh Gusti Allah,
cobaan hidup lelaki ini ternyata berat. Aku belum tentu kuat menjalaninya.*
*“Mas Imrul kan vonisnya 2 th.
Kenapa bisa bebas lebih cepat?”* tanyaku sambil menyeka air mata.
*“Oh, kalau itu krn kasus saya
diperiksa kembali sama polisi dan pengadilan Pak,”* ujarnya sambil ragu
mengambil kain hangat yg disodorkan awak kabin.
*“Setelah sidangnya diulang,
terbukti saya memang tdk bersalah. Teman yg berkomplot itu akhirnya berterus
terang,”* ujar Mas Imrul pelan. *“Sebetulnya saya sdh memaafkan teman itu.
Sejak pertama kali difitnah.”*
“Sejak pertama kali sdh memaafkan?”
tanyaku tambah heran.
*“Iya Pak Bagus. Kalau ada orang
memfitnah, buat saya cuma dua. Kalau fitnah itu benar, maka saya mohon ampun
sama Allah. Tapi kalau fitnah itu salah, maka saya maafkan & mohon ampunkan
dia dari kemurkaan Allah,”* ujarnya datar.
*Degh !! Aku langsung teringat
fitnah yg menimpaku setahun yg lalu. Aku dituduh memanipulasi laporan pajak perusahaan.
Si penuduh berhasil aku sikat habis di pengadilan. Aku beruntung dpt pengacara
yg handal, tapi sekarang aku menyesal. Mengapa sepertinya kata maaf tdk pernah
ada dlm kamus hidupku selama ini.*
*Ternyata lelaki ini bukan orang
biasa. Mas Imrul, seorang satpam mantan narapidana, tdk terkenal di bumi, tapi
terkenal di langit. Inilah lelaki langit yg semua malaikat pencatat kebaikan
pasti mengenalnya.*
***
Tiga hari di Mekkah kami menginap di
Royal Clock Tower. Aku & Mas Imrul menghabiskan seluruh hari penuh dg
ibadah. Tak cuma itu. Ada yg spesial di umrah kali ini & itu semua krn Mas
Imrul.
Aku biasa telat sholat fardhu, lalu
sholat berjamaahnya cuma di dekat hotel. Tapi tdk saat bersama Mas Imrul. *Kami
selalu berada di shaf depan, melihat langsung Ka’bah. Aku belum pernah mencium
hajar aswad pdh umrah berkali-kali, tapi tdk saat bersama Mas Imrul.
Badannya yg kurus justru berhsl
membawaku mencium batu hitam itu berkali-kali sepuasnya. Kami juga sholat di
hijir Ismail & lama berdo’a di Multazam, antara hajar aswad & pintu
Ka’bah. Semuanya lancar tanpa halangan.*
Mas Imrul terlihat sangat menikmati
perjalanan umroh ini. Dlm benakku, kalau pulang nanti dia akan aku pekerjakan
sbg satpam di rumahku.
Hari keempat kami berangkat ke
Masjid Nabawi, Madinah Al-Munawaroh. Dlm bis VIP Mas Imrul lebih banyak diam
& berdzikir.
*“Kalau saya perhatikan, Mas Imrul
tak pernah kelihatan susah,”* ujarku sambil memiringkan sedikit badan ke
arahnya.
*“Allah yg membolak-balikkan hati
Pak,”* ujarnya datar. *“Maka mintalah itu pada-Nya. Kalau kita menjaga Allah,
kita pun akan dijaga-Nya.”*
*“Maksudnya menjaga Allah itu
bagaimana Mas?”*
*“Jaga Allah dg menyempurnakan
hari,”* ujar Mas Imrul serius .
*“Maksudnya bagaimana Mas?”*
*“Hari yg sempurna itu diawali dg
bangun malam. Sholat tahajjud & witir. Minimal 2 plus 1. Lalu Dhuha minimal
2, dan sholat rawatib yg jmlhnya 12 raka’at. Utamanya sholat sunnah fajar
sebelum subuh. Selalu sholat wajib berjama’ah di masjid. Membaca Al-Qur’an
minimal 1 juz setiap hari. Senin-Kamis puasa sunnah. Itulah hari yg sempurna.”*
*Aku hanya terpana. Mobil camry
& rmh mewah hasil jerih payahku, jadi spt harta tak bermakna.*
Sampai di Madinah, setelah sholat
ashar di masjid Nabawi, kami berdesakan menuju Rawdhah. Area khusus dg karpet
hijau itu memang jadi rebutan para jama’ah. Kami menunggu giliran dg sabar,
berdiri di belakang pembatas putih.
Ketika petugas masjid membukanya, serentak setengah berlari kami menuju pojok paling dekat dg tembok di sebaliknya makam Rasulullah
ﷺ
*“Mas, ayo cepat sholat di sini.
Perbanyak istighfar, shalawat & do’a. Ini salah satu tempat yg paling
mustajab buat berdo’a,”* ujarku sambil bersiap-siap sholat.
Di sampingku Mas Imrul dg khusyu’
mendirikan sholat sunnah. Selesai sholat, aku duduk berdo’a di sampingnya yg
masih berlama-lama sujud. Area rawdhah sdh sesak dipenuhi jama’ah.
Tak smp 10 menit kemudian, muncul
petugas masjid menyuruh kami segera pergi. Waktu sdh habis.
Sekarang giliran jama’ah lainnya yg
sdh menunggu di balik pembatas putih.
Aku melihat Mas Imrul masih sujud.
Petugas masjid menepuk pundak-ku, menyuruh kami segera pergi. Entah do’a apa yg
dipanjatkan Mas Imrul, mengapa begitu lama.
*Aku mengguncang halus punggungnya.
Badannya terguling lemah. Mas Imrul telah tiada.
Wajah tirusnya tersenyum damai. Dia
meninggal dlm keadaan terbaiknya. Husnul khotimah saat sujud di Rawdhah, *taman
surga.*
Badanku lemas.
Jantungku berdegup kencang.
*Lelaki langit telah kembali kepada
Rabb-nya.*
***
Aku duduk sendiri di kelas bisnis.
Penerbangan Jeddah - Jakarta terasa lengang. Baru saja aku terlelap di kursi,
suara awak kabin membangunkan para penumpang untuk makan malam, 6 detik kmdn
aku terduduk diam. Kenapa ibu yg membangunkanku? Ibu kan sdh meninggal.
*“Mas Bagus, matur nuwun sanget,”*
ujar ibu dengan logat Jawanya yg kental & senyum khasnya..
Wallaahu
a’lam
Subhanakallaahumma
wabihamdika asyhadu anlaa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika .
Wassalamu’alaikum
warahmatullaahi waarakaatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar